Pendidikan dan Dialog
J Drost
Friday, Oct. 1, 2004 Posted: 8:12:14PM PST
Allah menyerahkan pengelolaan dunia kepada manusia. Sebagai makhluk yang berkemauan bebas, manusia menentukan cara hidup dan pengelolaan dunia sesuai kehendak mereka. Setiap manusia adalah pribadi khusus yang dicintai Allah. Sesuai dengan kekhususan pribadi itu, manusia membalas cinta kasih Allah. Tiadanya pribadi yang sama mengakibatkan macam pengelolaan dunia sebagai balasan atas cinta Allah sebanyak jumlah manusia di permukaan bumi.
Namun, karena dasarnya adalah cinta tunggal dari Allah yang sama kepada semua, perlu diusahakan kesatuan bangsa manusia. Memang baru dimulai, karena kesatuan sejati baru akan diraih setelah sejarah dunia berakhir, di akhirat. Salah satu cara yang paling cocok untuk mengusahakan kesatuan bagi makhluk berbudi adalah dialog. Untuk itu, manusia harus memiliki jati diri yang kuat dan sikap menerima serta menghormati jati diri teman dialog.
Saya berani mengatakan, toleransi menghalangi usaha dialog karena sikap toleran pada dasarnya tidak menghargai jati diri orang yang diajak berdialog. Toleransi berasal dari kata kerja Bahasa Latin tolerare, artinya: ’mengangkat dan memikul’.
Mengangkat dan memikul adalah kegiatan yang memberatkan orang. Orang yang toleran adalah orang yang menyerah kepada keadaan. Saya tidak setuju, tetapi apa boleh buat. Daripada ribut dan repot, mengalah saja.
Toleransi terhadap orang lain mengenai apa saja adalah sikap negatif. Lebih baik agama itu atau sikap politik itu tidak ada, hingga saya bisa hidup dengan aman dan nyaman. Keinginan itu tidak mungkin dipenuhi, maka daripada berdebat dan berkelahi lebih baik yang lain ditenggang saja.
Pendapat saya mungkin terlalu tajam, tetapi praktik toleransi sering kali tak lain dan tak bukan gencatan senjata yang sering dilanggar. Sebab apa? Karena toleransi tidak berdasarkan sikap positif. Dasarnya adalah sikap menghindari politik. Sikap itu telah tertanam dalam jiwa kita sejak kecil.
Pendidikan kita terlalu menekankan unsur tenggang rasa atau tepa selira. Maksud perilaku itu adalah hidup selaras dan damai dengan sesama demi rasa damai itu sendiri. Hindarilah setiap tindakan yang dapat mengakibatkan masalah atau keonaran. Elakkan apa saja yang menimbulkan konflik.
Padahal, situasi konflik adalah kenyataan hidup yang mau tak mau harus dihadapi. Tak ada keberanian untuk menghadapi kenyataan itu, karena pendidikan yang ada tidak membentuk jati diri. Pendidikan itu tidak menjadikan pribadi dewasa mandiri. Maka, kemampuan untuk mengadakan dialog tidak tumbuh. Juga, pendidikan itu membuat hubungan dengan dunia luar berlangsung egosentris.
Sikap jangan mengganggu orang lain tidak demi orang lain, sebab tolok ukur segala-galanya hanya diri sendiri. Paling-paling toleran, tetapi sikap itu tidak cukup. Seseorang akan mampu berdialog dengan orang lain, bila dia menghargai orang lain.
Saya berpegang pada agama saya, dan justru karena keyakinan itu saya dapat menghargai pribadi-pribadi yang beragama lain. Benar, saya tidak menghargai agama lain seperti agama saya sendiri. Iman saya tunggal. Bila saya menghargai agama lain lebih dari agama saya, sebab apa saya tidak memeluk agama lain itu? Saya dapat berdialog dengan orang lain agama, sebab saya menghargai dia sebagai pribadi yang memeluk agama lain itu. Dan saya yakin, bagi dia agamanya merupakan hal yang paling berharga.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|