STT Jakarta: Menjadi Batu Hidup (1)
Oleh RP Borrong
Thursday, Sep. 30, 2004 Posted: 6:42:47PM PST
|
RP Borrong |
Untuk merayakan Dies Natalisnya yang ke-70, Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta memilih tema ''Menjadi Batu Hidup''. Menjadi batu hidup berarti kesediaan untuk dipakai sebagai pondasi dan bahan bangunan dari masyarakat Indonesia yang terus menerus berusaha mencapai tujuan nasionalnya, masyarakat berkeadaban (civil society) yang adil dan makmur.
Sebagai lembaga pendidikan yang telah makan asam garam selama 70 tahun berkiprah, STT Jakarta ingin introspeksi dan retospeksi serta menanyakan pada dirinya sendiri tentang visi dan misi kehadirannya di tengah masyarakat Indonesia.
Introspeksi dan retrospeksi itu sangat diperlukan mengingat perjalanan yang begitu panjang. Apakah arah dan tujuan yang telah digariskan pada waktu pendiriannya masih cukup relevan dengan kekinian gereja dan masyarakat Indonesia?
STT Jakarta merupakan sekolah teologi tertua di Indonesia. Didirikan tanggal 9 Agustus 1934 di Bogor dengan nama Hoogere Theologische School (HTS) oleh Genootschap voor hooger theologisch onderwijs in Nederland Indie (Lembaga Perguruan Tinggi Theologia di Hindia Belanda).
Yayasan itu sendiri didirikan oleh Central Comite Depok. Central Comite Depok ditugasi oleh Indische Kerk dan Lembaga Zending Belanda yang bekerja sama Zending Barmen untuk menangani pendirian HTS tersebut di Indonesia, karena pusat-pusat zending berada di Eropa.
Central Comite Depok adalah lembaga bentukan gereja-gereja di Belanda yang mendirikan Seminarie Depok tahun 1878 yang disebut sebagai Seminarie van Inlandsche zendelingen. Seminarie Depok dimaksudkan untuk mendidik anak-anak pribumi menjadi pembantu zending (inlandsche hulpzendeling).
Mereka dididik menjadi guru dan diberikan pengetahuan tambahan untuk memberitakan Injil dan sekaligus untuk menjadi penghantar/pemimpin jemaat (voorganger).
Seminarie Depok ditutup tahun 1926 karena hampir di semua pusat-pusat gereja di Indonesia telah berdiri seminarie theologia yang mempunyai fungsi yang sama. Itu sebabnya ketika HTS didirikan, Central Comite Depok merasa bahwa pendirian sekolah itu sejalan dengan cita-cita mereka untuk mendidik pemuda-pemuda pribumi untuk dipersiapkan menjadi pemimpin gereja-gereja pribumi di Indonesia.
Hanya dua tahun di Bogor, HTS pindah ke Jakarta (Batavia) tahun 1936, dan menempati lokasinya yang sampai sekarang menjadi lokasi STT Jakarta, yaitu Jl Proklamasi No 27 Jakarta Pusat. HTS didirikan untuk menjadi tempat pendidikan teologi dan kependetaan bagi pemimpin gereja di Indonesia.
Karena itu, sejak awal ciri lembaga ini adalah ekumenis (mengutamakan keesaan/kesatuan gereja-gereja) dan kontekstual (berteologi dalam konteks Indonesia dan Asia pada umumnya). Kedudukannya di Jakarta (Batavia) yang kemudian menjadi Ibu Kota Republik Indonesia, mendukung ciri itu. Sekolah ini menerima mahasiswa dari berbagai gereja dan daerah di Indonesia.
Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945) terpaksa HTS ditutup. Dosen-dosennya ditawan sehingga perkuliahan terhenti. Baru dibuka kembali tahun 1946 dan sejak itu sekolah ini menerima penanganan baru yaitu ketika pengurusannya diserahkan dari tangan para Zendeling kepada gereja-gereja di Indonesia.
Next Page: 1 | 2 |
|