Selamat Melayani, SBY, dan Terima Kasih, Ibu Mega!
Andreas A Yewangoe
Thursday, Sep. 30, 2004 Posted: 6:41:42PM PST
|
Andreas A Yewangoe |
Dari berbagai penghitungan, sudah hampir pasti bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan memenangi Pilpres Putaran II. Itu berarti, SBY akan menjadi presiden keenam Republik Indonesia. Kepada SBY kita haturkan ucapan "Selamat Melayani!" Dengan sengaja kita memakai istilah "melayani", bukan "memerintah" sebab lebih kuat menegaskan komitmen untuk memenuhi janji-janji kepada rakyat Indonesia yang selama ini telah dihamburkan melalui berbagai kesempatan.
Dua ribu tahun yang lalu, Sang Kristus pernah menegaskan: "Melayani bukan dilayani". Kristus menyadari bahwa tidak mudah menjalankan prinsip itu dalam praktik. Melayani menuntut suatu penyangkalan diri. Turun ke bawah, kalau perlu ke tempat yang paling "dalam" guna memperoleh kemampuan berempati dengan persoalan-persoalan masyarakat, pergumulan-pergumulan, dan cita-cita mereka. Melayani menuntut kerendahan hati untuk "membasuh kaki", juga mereka yang paling kecil di dalam masyarakat. Bahkan melayani berarti, kalau perlu kesediaan untuk "kehilangan nyawa", sebagaimana Kristus sendiri mengalaminya.
Inilah tantangan yang diperhadapmukakan kepada setiap pemimpin tanpa kecuali, apalagi yang memimpin suatu bangsa. Kita bersyukur, sebab Pak SBY berjanji mewujudkan komitmen itu. Seratus hari pertama, katanya, ia akan turun ke bawah, berkunjung ke daerah-daerah guna mengetahui secara tepat kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat kita. Dialog-dialog dengan masyarakat akan diintesifkan. Hal itu sudah mulai dilakukan beberapa waktu lalu di Cikeas, ketika menerima berbagai lapisan masyarakat. Banyak janji dan harapan diutarakan pada waktu itu. Mudah-mudahan masyarakat tidak dikecewakan.
Saya teringat ketika Pak Harto baru saja memangku jabatan presiden, ia juga melakukan berbagai percakapan dengan seluruh lapisan masyarakat. Bahkan ada semacam "pertemuan mingguan" dengan mahasiswa. Belakangan berbagai "Temu Wicara" diselenggarakan. Namun semua kegiatan itu tidak sungguh-sungguh memperlihatkan suatu dialog sejati.
Yang ada tidak lebih dari sekadar monodialog. Rezimnya makin lama makin menjadikan kekuasaan sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri. Maka KKN begitu merajalela sebagai salah satu upaya melestarikan kekuasaan. Kita tidak mengharapkan Pak SBY terjerumus ke dalam gaya kepemimpinan quasi-demokrasi seperti itu.
Kita juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Mega. Ia memang "kalah" dalam Pilpres ini. Perolehan suaranya tidak lebih dari 39 persen. Hal seperti itu wajar belaka dalam sebuah pelaksanaan demokrasi. Mesti ada yang kalah, supaya ada yang menang. Tetapi mesti juga ditegaskan bahwa Megawati pun adalah pemenang. Ia justru telah menorehkan dengan tinta emas dalam sejarah negeri ini, bahwa di bawah kepemimpinannyalah sebuah pemilu yang aman dan tanpa gejolak berarti, yang di dalamnya presiden dipilih langsung, terjadi.
Megawati telah memberi lampu hijau kepada amendemen UUD 1945 sehingga pemilihan presiden secara langsung itu bisa diselenggarakan. Andaikata saja ia mem"veto" kemungkinan itu, maka belum tentu kita menikmati pelaksanaan kedaulatan kita sebagai rakyat seperti sekarang. Visinya yang jauh ke depan melihat bahwa salah satu pilar demokrasi yang kuat adalah apabila pemilihan presiden tidak lagi diwakilkan, dengan kemungkinan terjadinya berbagai permainan, tetapi rakyat sendirilah yang melakukannya.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|