Pilpres RI dan AS Tahun 2004
Christianto Wibisono
Tuesday, Sep. 7, 2004 Posted: 5:12:33PM PST
Dalam Konvensi Partai Demokrat di Boston, putra bungsu almarhum Presiden Ronald Reagan yang dipanggil Ron Reagan berpidato menentang Presiden Bush karena ia berpandangan liberal dalam pelbagai isu sosial, seperti masalah gay dan perang Irak.
Dalam Konvensi Partai Republik di New York, Senator Zell Miller dari Partai Demokrat dimanfaatkan untuk menelanjangi ketidakmampuan capres John Kerry sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang AS.
Partai Demokrat AS menurut Zell Miller sedang dikuasai oleh kelompok liberal kiri yang sangat antikelompok neocon yang dianggap sebagai sayap paling kanan yang mendominasi Partai Republik melalui Bush, Cheney dan Karl Rove. Partai Demokrat mengandalkan isu domestik dan ekonomi dalam pemilu sebab dalam isu terorisme memang Bush kuat sekali posisinya untuk ditantang secara terbuka. Celakanya, John Kerry dalam pidato Konvensi tampak kurang jelas menyampaikan agenda programnya.
Sementara itu, Presiden Bush dalam pidato Rabu (1/9) malam dengan rinci menyampaikan agenda reformasi perpajakan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan tentu saja keamanan dari terorisme sebagai prasyarat mutlak kelangsungan hidup manusia.
Karena itu, polling terakhir oleh Majalah TIME melejitkan popularitas Bush menjadi 52% di atas Kerry yang hanya 41%.
Perkembangan terorisme internasional yang meningkatkan serangan di Israel, Irak sampai Rusia telah mempengaruhi para pemilih di AS. Mereka cemas akan ancaman teror seperti Beslan yang mengancam dan membunuh kanak-kanak. Mereka juga mulai mempertanyakan sikap hantam kromo para teroris Irak yang menyandra wartawan Prancis dan membunuh pekerja Nepal, Turki, wartawan Italia dan banyak lagi warga bangsa non-AS yang memperlebar perang antiteror menjadi isu global.
Tidak kurang dari Arafat dan Hamas menyesalkan penculikan wartawan Prancis dan mengimbau Islamic Army of Iraq untuk membebaskan dua warga Prancis. Penculikan dan kalau terjadi pembunuhan terhadap warga Prancis itu akan mengakibatkan dunia kembali berada dalam konfrontasi pasca 911, kubu teroris lawan antiteroris yang berimpitan dengan SARA global.
Dalam kondisi global seperti itulah pemilihan Presiden AS masih akan berkisar pada faktor keselamatan dan keamanan atau isu terorisme sedang masalah ekonomi menjadi faktor kedua. Sebab apa gunanya bicara ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kalau orang sudah menjadi mayat seperti nasib ibu dan kanak-kanak di Beslan.
Indonesia tidak mengalami demam antiterorisme walaupun sudah jadi korban dua kali di Bali dan Marriott. Bahkan dengan santai pelaku bom Bali diajak bercengkerama di Starbuck Coffee, suatu pelecehan terhadap rasa keadilan, etika dan moral masyarakat yang ingin menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen.
Serangan terhadap SBY terus menggebu seperti serangan terhadap John Kerry yang dianggap tidak akan mampu tegas sebagai Panglima Tertinggi karena track record plin-plan atau flip-flopnya selama 20 tahun menjadi Senator. Di Indonesia SBY diserang dengan tuduhan antek AS, agen CIA. Lucunya ada juga isu SBY dikendalikan oleh Jusuf Kalla, Yusril Ihra Mahendra dan sekarang Hidayat Nur Wahid dalam suatu poros yang jelas lebih kental nafas "syariah"-nya daripada Koalisi Kebangsaan (KK) yang Pancasilais walaupun di dalam kubu KK ada juga Hamzah Haz yang secara demonstratif mendukung Abubakar Basyir dan kelompok radikal lain.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|