Agama yang Kehilangan Kemanusiaan
Oleh: Benny Susetyo Pr
Saturday, Jul. 30, 2005 Posted: 3:31:08PM PST
Agama yang Kehilangan Kemanusiaan
Oleh: Benny Susetyo Pr
Bila kita tengok perilaku keagamaan kita beberapa waktu terakhir dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, semangat penyejukan dan perdamaian yang dibawa agama tampak kering. Hampir pasti semangat tersebut meleleh karena perilaku sosial politik semenjak merdeka telah meracuni agama itu sendiri. Agama dikerangkeng di dalam aturan-aturan yang monolitik, monoton, dan berdampak tidak sehat.
Aneh, perilaku orang beragama justru buas terhadap sesamanya. Norma kesopanan telah pudar dalam sanubari bangsa ini. Seolah-olah kita telah kehilangan jati diri sebagai orang beragama, sebagai bangsa beragama, sebagai makhluk beriman. Karakter keimanan sebagai suatu substansi yang harus diraih, gagal kita bangun. Keimanan bukan untuk menyayangi makhluk lainnya, tetapi justru untuk membunuh, dengan segala macam cara.
Adakah yang salah dalam cara kita beragama, berbangsa, berperikehidupan? Mengapa bangsa kita hidup dalam ketidakberadaban karena membiarkan kekerasan demi kekerasan terus berlangsung tanpa ada ASha yang kuat untuk menghentikan praktik kekerasan itu sendiri? Sebagai bangsa beragama, mengapa orientasi kehidupan kita hanya mampu mencetak manusia kerdil, haus kekuasaan, harta dan kemuliaan belaka?
Sebetulnya kita sedih menyimpulkan statemen ini. Tapi kita tidak bisa mengelak sampai sejauh ini dalam kehidupan kebangsaan kita, kita sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan keberagamaan kita telah gagal membangun sebuah karakter keimanan. Seolah-olah kesucian hanya dilihat di sekitar tempat ibadat, di luar itu orang boleh melakukan praktik yang berlawanan dengan keimanan.
Terasing dari Realitas
Tuhan bukan butuh persembahan tetapi umat manusia yang bertindak adil bagi sesama. Tuhan akan muak dengan persembahan kita bila tangan kita penuh dengan darah, dan mulut kita penuh dengan dusta. Realitas itu ditampilkan dalam wajah keagamaan saat ini, akibatnya keagamaan yang seharusnya membebaskan manusia dari situasi keterasingan, dalam realitas dirinya sendiri terasing.
Kita lihat dalam praktiknya, keberagamaan kita menampilkan wajah kontras antara kesucian individual dan kesalehan sosial. Kesucian individual ini tak kunjung berubah menjadi kesalehan sosial. Realitas agama hanya terjebak pada dimensi kesalehan pribadi yang berorientasi pada kesucian perorangan.
Ukurannya hanya sekadar persembahan belaka, tetapi tidak mampu memperbaharui perilaku sosial. Hal ini terjadi karena agama tidak mampu keluar dari persoalan identitas (logo) seperti di atas. Pemeluk agama masih terjebak pada persoalan kuantitas, bukan kualitas keimanannya. Agama hanya dihayati sekadar ritual belaka, tetapi dirinya terasing terhadap realitas kehidupan kemasyarakatan.
Agama jauh dari realitas kehidupan kemasyarakatan. Dia cenderung memikirkan dirinya sendiri dalam lingkup dogma, aturan dan legalitas. Dia tak mampu melihat realitas masyarakat yang mengalami penindasan, pemerkosaan hak, dan penderitaan kaum tertindas yang termarginalisasikan oleh sistem pembangunan.
Next Page: 1 | 2 |
|