Mukjizat, Pengertian Sebenarnya
Oleh: Eka Darmaputera
Tuesday, Jul. 5, 2005 Posted: 11:21:29AM PST
Mukjizat, Pengertian Sebenarnya
Oleh Eka Darmaputera
Masih ingatkah Anda akan nama Lee Strobel? Mungkin tidak. Ia adalah wartawan sebuah harian terkemuka Chicago Tribune. Pernah saya sebut-sebut namanya dalam beberapa tulisan saya yang lalu.
Waktu itu saya menulis, betapa didorong oleh naluri kewartawanannya serta digelitik oleh panggilan imannya, Strobel merasa penasaran oleh pernyataan-pernyataan Charles Templeton, eks penginjil rekan sejawat Billly Graham, yang telah ingkar dari imannya. Maka terbanglah ia ke Boston untuk mewawancarai Peter Kreeft, profesor filsafat dari Boston College, guna memperoleh pandangan yang seimbang. (cf. Lee Strobel, ”THE CASE FOR FAITH”. Zondervan, 2000).
Kali ini ia kembali dibuat geregetan oleh pernyataan beberapa ilmuwan. Di antaranya oleh pernyataan fisikawan terkenal, Max Plank, yang dengan yakinnya mengatakan bahwa kepercayaan pada ”mukjizat” pada satu ketika pasti akan menyerah, gulung tikar, dan dipaksa menyerahkan wilayah garapannya kepada ilmu pengetahuan.
Dengan perkataan lain, menurut Plank, kepercayaan pada ”mukjizat” sekarang ini secara pasti sedang memudar dan meredup, untuk akhirnya padam sama sekali. Sebaliknya, cahaya ilmu pengetahuan kian ”mencorong”, dan akan menjadi penerang satu-satunya bagi segala sesuatu.
Pendapat ini didukung penuh oleh biologiwan Richard Dawkins yang meramalkan, bahwa pada suatu ketika nanti ilmu pengetahuan akan mampu menyibak semua—atau sebagian terbesar—rahasia alam semesta. Dan ketika ini terjadi, sebagai konsekuensinya, manusia bakal tidak memerlukan lagi penjelasan-penjelasan yang nonilmiah. Misalnya, ya itu, kepercayaan akan ”mukjizat”. Sebab, katanya, apa yang sekarang disebut ”mukjizat”, sebenarnya sama sekali bukanlah ”mukjizat”. Tapi disebut demikian, hanya karena manusia belum mampu menjelaskannya secara ilmiah.
PANDANGAN ”provokatif” tersebut, kita tahu, dianut banyak ilmuwan lain. Kenyataan inilah yang mendorong Lee Strobel terbang dari Chicago ke Atlanta, untuk mewancarai William Lane Craig. Siapa William Craig ini? Ia adalah profesor teologi yang diakui luas otoritas, rasionalitas, dan intelektualitasnya. Dan menjadi terkenal terutama karena buku-bukunya yang secara rasional dianggap ”berhasil” mempertahankan validitas ”iman” dan ”mukjizat” di tengah gugatan gencar orang-orang modern.
Begitu berjumpa, Strobel segera ”tembak-langsung”. Pertanyaannya yang pertama adalah, apakah komentar Craig tentang pernyataan Plank dan Dawkins, bahwa orang moderen tidak layak dan tidak pantas mempercayai lagi adanya ”mukjizat”.
Jawaban yang ia terima membuatnya terperangah. ”Menurut pendapat saya ,” kata Craig, ”mereka benar”. Setengah tak percaya akan telinganya semdiri, Strobel meminta ketegasan, ”Maaf, apa kata Anda barusan?”.
”Saya berkata bahwa Plank dan Dawkins benar. Sebab yang terjadi adalah beberapa orang telah mengeksploitasi istilah ‘mukjizat’ secara murahan. Mereka jadikan itu sebagai dalih untuk menutupi kecekakan serta kekurangpengetahuan mereka. Lalu mereka juga dengan gampangnya melempar tanggung jawab kepada ‘Allah’, setiap kali mereka tidak mampu menjelaskan sesuatu. Bahwa ini sudah ketetapan Allah-lah. Atau bahwa ini adalah tindakan Allah-lah. Jadi ya terima saja, dan jangan banyak bertanya. Itu sebabnya saya katakan, adalah perkembangan yang baik dan sehat, bila ilmu pengetahuan terus berkembang serta menyingkirkan cara-cara berpikir yang naif, cupet dan simplistik seperti itu”
Next Page: 1 | 2 | 3 |
|