Bayang-Bayang Negara Islam Mencemaskan Para Uskup Malaysia
Gereja mendorong Kebebasan Beragama
Saturday, Oct. 9, 2004 Posted: 8:43:52PM PST
KUALA LUMPUR, Malaysia, --- Selama berbulan-bulan rakyat Malaysia berbicara tentang sebuah kasus mengenai disangkalnya kebebasan beragama di negeri itu. Shamala Sathyyaseelan, seorang ibu bukan-Muslim dengan dua anak, mempertanyakan kepada Mahkamah Tertinggi Malaysia mengapa dua anaknya dipaksa berpindah agama menjadi Islam tanpa persetujuan dan sepengetahuannya .
Mahkamah Agung mengesampingkan kasus tersebut dengan menyatakan lembaganya tidak berhak mengadili kasus tersebut dan menyerahkannya kepada pengadilan Shariah. Para pengacara pembela ibu bukan-Muslim itu menentang tindakan Mahkamah itu dengan mengatakan pengadilan Shariah atau hukum Islam tidak mempunyai yurisdiksi atas orang-orang bukan-Muslim. Di tengah-tengah dua sistim hukum yang bersaing itu Ibu Sathyyaseelan berjuang sendirian, dan kasus nya tidak menentu.
Di Malaysia, negara Asia Tenggara dengan penduduk 23.5 juta jiwa, dua sistim hukum berlaku berdampingan: satu berdasarkan konstitusi federal dengan pengadilan sipil; yang satunya lagi dibentuk oleh hukum Shariah dan diterapkan yang pada prinsipnya hanya kepada orang-orang Muslim. Dalam kasus ibu Sathyyaseelan, dengan Mahkamah Agung mencucitangannya, Pengadilan Shariah agaknya akan mendukung klaim dan persetujuan ayah bahwa kedua anak itu masuk agama Islam.
Kasus Ibu Sathyyaseelan ini telah ditangani oleh para uskup Katolik Malaysia, menurut kantor berita AsiaNews. Dalam sebuah dokumen yang baru-baru ini dirilis, para uskup menekankan bagaimana dalam perkawinan-perkawinan campur pihak yang lebih lemah -yaitu , yang non-Muslim-menghadapi paling banyak masalahnya. Meskipun secara resmi dilindungi oleh hukum, orang-orang non-Muslim harus menerima keputusan-keputusan pengadilan Islam yang memang pasti tak terelakkan akan mendukung hak istimewa para pemohon Muslim.
Malaysia adalah suatu kerajaan konstitusional dan negara federasi. Menurut konstitusi , Islam adalah agama resmi federasi , tetapi agama-agama lain "bisa dipraktekkan dalam damai dan kerukunan." Konstitusi lebih lanjut mengatakan dalam melindungi kebebasan beragama, bahwa "tak seorangpun akan dituntut untuk menerima pengajaran atau ambil bagian dalam upacara atau ibadat suatu agama yang lain dari agamanya sendiri" dan bahwa "agama seseorang yang berusia di bawah 18 tahun akan diputuskan oleh orang tua atau walinya."
Atas dasar prinsip-prinsip ini , para uskup Malaysia tetap berpendapat "bukan untuk kepentingan terbaik dari anak" , salah seorang dari orang tuanya mengubah agamanya, tanpa sepengetahuan orang tua lainnya. Karena itu para uskup mendesak pemerintah dan parlemen agar memberlakukan undang-undang yang menuntut agar supaya pengadilan menjunjung dan melindungi kebebasan beragama dan hak-hak orang tua yang dijamin konstitusi.
Ketika Federasi Malaysia pertama kali didirikan tahunn 1948 (yang mengubah namanya menjadi Malaysia tahun 1963) negara yang baru merdeka itu menyetujui suatu konstitusi yang direkayasa untuk memperdamaikan suku-suku dan agama-agama yang banyak di negeri itu serta menjamin hak-hak mereka
Next Page: 1 | 2 |
|