Uskup Agung Makassar Peringatkan Umat Soal Bahaya Kehidupan Modern
Tuesday, Aug. 3, 2004 Posted: 2:04:39PM PST
MAKASSAR, Sulawesi Selatan -- Uskup Agung Makassar Mgr John Liku Ada mengingatkan umat paroki di Keuskupan Agung Makassar bahwa tren modern seperti budaya instan, materialisme, dan individualisme bisa merusak iman mereka.
"Setiap tahun dalam Bulan Katekese, kita diajak untuk melihat kembali perjalanan hidup iman kita. Iman kepercayaan kita perlu dikritisi. Mungkin ada hal-hal yang perlu dikoreksi. Tentu saja ada yang perlu dikembangkan lebih lanjut," kata Uskup Agung John Liku Ada dalam sebuah surat gembala baru-baru ini.
Surat gembala "Iman Dalam Budaya Modern" itu akan dibacakan di semua 39 paroki dan semua kapel di keuskupan agung pada Misa 31 Juli dan 1 Agustus. Surat gembala itu dikeluarkan pada 3 Juli untuk merayakan bulan Agustus sebagai Bulan Katekese, suatu tradisi keuskupan sejak 1980-an. "Tak terasa kita telah empat tahun mengarungi Milenium Ketiga," kata uskup agung. "Paus Yohanes Paulus II mengharapkan agar abad ini sungguh menjadi abad kebangkitan iman, abad kedamaian. Untuk tahun 2004, para uskup dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) memusatkan perhatiannya pada budaya yang dapat kita sebut sebagai budaya modern yang menghanyutkan iman kepercayaan kita."
Dalam surat gembala itu, uskup agung menyinggung soal bahaya yang muncul akibat budaya instan, materialisme, dan individualisme. Orang-orang yang terobsesi dengan budaya instan, katanya, ingin langsung melihat hasil tindakannya dengan cara yang mudah dan cepat. Mentalitas semacam itu sedikit demi sedikit melumpuhkan semangat juang mereka dan membuat mereka cenderung mundur jika menghadapi kesulitan. "Budaya ini akan mempengaruhi kita juga dalam menghidupkan iman kepercayaan kita, yang tentu saja membutuhkan perjuangan yang tidak kecil," kata uskup agung. "Orang-orang yang terobsesi dengan budaya ini tidak tahan menghadapi tuntutan-tuntutan iman, lalu cenderung untuk mundur dan cenderung untuk memilih yang paling mudah."
Ia menambahkan, "Mereka bertanya, misalnya, untuk apa bersusah-susah mengikuti kursus persiapan perkawinan yang menyita banyak waktu dan tenaga, untuk apa mengikuti pelajaran-pelajaran untuk persiapan pembaptisan yang akan kita terima, untuk apa mengikuti mystagogi (masa untuk semakin memperdalam iman kita setelah pembaptisan), untuk apa bersusah-susah pergi ke gereja bila kita dapat berdoa sendiri di rumah, untuk apa semuanya kita jalankan bila membawa kesulitan-kesulitan."
Surat gembala itu mengatakan, orang-orang cenderung untuk mengukur keberhasilan dengan besarnya materi yang dihasilkannya. "Orang-orang berpikir bahwa semakin besar jumlah rupiah yang dihasilkan oleh kegiatan kita, semakin berhasillah kita. Dalam alam seperti ini, semakin orang mempunyai jumlah rupiah yang banyak, semakin orang itu akan dihormati sebagai orang yang berhasil," kata uskup agung.
Dengan demikian, katanya, orang-orang dengan gampang melupakan kegiatan-kegiatan Gereja yang memang tidak menghasilkan rupiah sedikit pun, melainkan pengorbanan. Ditambahkan, orang-orang menganggap dewan pastoral paroki berhasil bila dalam masa kepengurusannya berhasil mengumpulkan dana yang besar dan berhasil membangun sarana fisik yang luar biasa, tapi keberhasilan dalam memperdalam iman "tidak bisa dihitung secara material."
Next Page: 1 | 2 |
|