Nathan Setiabudi : Umat Kristiani Agar Tegas Memisahkan Antara Agama Dan Politik Negara
Friday, Jul. 2, 2004 Posted: 8:06:17PM PST
Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia
(PGI), Pendeta (Pdt) Dr Nathan Setiabudi mengingatkan
umat kristiani agar tegas memisahkan antara agama dan
politik negara, terutama dalam masa kampanye ini,
karena masih sering ditemui ibadah-ibadah di gereja
disisipi dengan pesan kampanye.
"Seharusnya gereja bukan menjadi tempat kampanye.
Alkitab pun menegaskan pedang (politik negara) harus
dipisahkan dengan firman (gereja). Dalam sejarah,
pengalaman penyatuan gereja dan negara justru merusak
keduanya. Ini pernah terjadi dimasa kerajaan romawi,"
demikian Pdt Nathan, dalam panel diskusi bertema
"Kebersamaan untuk Membangun Indonesia" yang diadakan
oleh Asosiasi Yayasan Untuk Bangsa (Ayub) Indonesia,
di Jakarta, Selasa (29/6).
Pembicara lain adalah penasihat ekonomi Presiden
Megawati Soekarnoputri, Frans Seda, Junius Suhadi
(Ayub), Pdt Dr Ir Bambang H Widjaja (Ketua Persekutuan
Injili Indonesia) dan Sekretaris Konferensi Wali
Gereja Indonesia, Romo Sigit Pramudji, Pr.
Nathan menjelaskan tujuan akhir pemilihan umum adalah
kedaulatan rakyat yang didiferensialkan pada
konsolidasi negara dan warga negara.
Negara sebagai alat politik mengkonsolidasikan
penegakan hukum dan keamanan, sedangkan warga negara
memastikan hak-haknya terpenuhi oleh negara.
"Kesertaan dalam aktivitas pemilihan umum adalah bukan
sebagai umat kristiani melainkan sebagai warga negara.
Sehingga tugas gereja untuk memastikan negara memenuhi
kepentingan umatnya dan rakyat secara keseluruhan.
Secara pasti posisi gereja adalah bersama warga
negara, bukan pada negara," katanya.
Pluralisme
Ketua PII, Pdt Bambang H Widjaja, dalam kesempatan itu
meminta umat kristiani tidak hidup hanya untuk
sesamanya sendiri tetapi juga bagi seluruh bangsa
Indonesia. "Maka pilihlah pemimpin yang bisa
menghargai prinsip-prinsip pluralisme dan kebangsaan,"
katanya.
Dia mengingatkan bangsa Indonesia pernah memiliki
pemimpin-pemimpin yang besar karena mereka mempunyai
prinsip-prinsip yang besar, antara lain ditunjukkan
dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang mengikrarkan
satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa,
Indonesia.
"Namun krisis akhirnya membuat bangsa ini hanya punya
visi yang pendek-pendek, sejauh ini tidak ada pemimpin
yang visioner, yang tahu hendak dibawa ke mana bangsa
ini," katanya. Karenanya, dia berharap gereja mau
mengajak umat untuk berpikir jauh ke depan bagi bangsa
dan negara, bukan sekadar berpikir pendek.
Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, penasihat
ekonomi pemerintah tiga jaman, Frans Seda menjelaskan
kebersamaan antara seluruh rakyat tidak akan
terciptakan jika ada politik dominasi dari salah satu
kelompok masyarakat. Politik dominasi akan melahirkan
mayoritas dan minoritas. Keadaan ini akan menyebabkan
diskriminasi. "Dominasi muncul karena ada penonjolan
kepentingan sendiri dan jangan berharap akan ada
rekonsiliasi jika kepentingan sendiri lebih tinggi
daripada kepentingan bersama," tegasnya.
Next Page: 1 | 2 |
Yunita Lee
|