PGI Diminta Dukung Otonomi Khusus Papua
Saturday, Dec. 4, 2004 Posted: 2:49:54PM PST
Dalam rapat Sidang Raya XIV PGI yang berlangsung pada tanggal 3 Desember, diadakan pembahasan mengenai otonomi khusus Papua.
Dikatakan bahwa saat ini yang menjadi akar persoalan di Papua adalah ketidakadilan, dalam otonomi khusus, rakyat Papua belum memiliki hak sepenuhnya untuk mengelola sumber daya alamnya sendiri.
Oleh karenanya, Pdt Sugianto dari Gereja Lampung mengatakan bahwa pembentukan Majelis Rakyat Papua ( MRP ) adalah penting dan mendesak.
Selain itu, Sidang Raya juga membahas tentang keberadaan aset-aset PGI yang sampai sekarang simpang-siur. Selain itu, peruntukan dan surat-surat kepemilikan beberapa gedung milik PGI tidak jelas, seperti di Jawa Timur ada GMKI Center, rumah mantan anggota PGI, kantor PGI wilayah, dan wisma pelaut Surabaya. Di Jakarta juga ada beberapa aset yang pemanfaatannya tidak maksimal, termasuk Wisma Pelaut.
Peserta sidang dari GPIB, Pdt. Adry Wangkey, berpendapat seharusnya PGI transparan dalam pengelolaan aset.
Dalam kesempatan terpisah, juga dibahas mengenai masalah pencabutan SKB 2 Menteri. Pakar hukum, JE Sahetapy mengatakan bahwa apabila sebuah gereja tidak mendapat izin untuk berdiri, seharusnya pemerintah setempat dapat dilaporkan ke pengadilan. Hal ini dapat diperjuangkan sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Bahkan kalau juga kalah, dapat diperjuangkan sampai di tingkat internasional. Hak ini ada dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
Sementara itu di Jakarta, sejumlah tokoh agama yang tergabung dalam Komite Perjuangan Rakyat (KPR) mendatangi Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk meminta pencabutan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/mdn-mag tentang pelaksanaan ibadah.
Hadir dalam rombongan tersebut adalah Koordinator KPR, Habiburokhim (Muslim), Pdt. A. Shephard Supit (Kristen), Sekjen International Conference of Religion on Peace, Theofilus Belu (Katolik) dan Rm. Yoasaf dari Gereja Katolik Orthodoks Indonesia. Mereka diterima oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Widodo Bujo Wiryono, dan anggota komisi seperti Latfyah Iskandar (F-PAN), Ashori Siregar (F-PKS), Marissa Haque (F-PDIP) dan Tiurlan Hutagaur (F-PDS ).
Mereka menilai SKB tersebut sudah tidak relevan lagi dan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.
Sandra N. Natalia
|