KWI Merumuskan Budaya Tanding - Bentuk Habitus Baru
Wednesday, Dec. 1, 2004 Posted: 9:41:44AM PST
Budaya tanding adalah pola pandang dan perilaku yang menjadi alternatif terhadap pola pandang dan perilaku yang berlaku umum dalam masyarakat. Budaya ini menjadi kekuatan masyarakat untuk mampu mengontrol budaya korupsi, kerusakan lingkungan, dan kekerasan.
Dan Budaya Tanding ini adalah salah satu yang dirumuskan oleh KWI dari hasil Sidang Tahunan KWI 2004.
Sekretaris Jenderal KWI Mgr Ignatius Suharyo bersama ketua KWI Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, mewakili seluruh uskup Indonesia dalam jumpa pers setelah mengakhiri Sidang Tahunan KWI, 11 November mengatakan wacana habitus yang direncanakan adalah membangun keadaan publik. Habitus yang dimaksud ialah gugus insting, baik individual maupun kolektif, yang membentuk cara merasa, berpikir, memahami, mendekati, bertindak, dan berelasi seseorang atau kelompok.
Dalam Sidangnya, KWI menyadari bahwa kehidupan sekarang sudah menjadi lemah sebab tidak ditata berdasarkan iman dan ajaran agama. Hati nurani tidak dipergunakan dan perilaku tidak dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara manusia menjadi egoistik, konsumeristik, dan materialistik. Rusaknya keadaban publik ini terjadi karena ketidakseimbangan ketiga ruang publik yakni negara, masyarakat pasar, dan masyarakat warga. KWI sadar bahwa gereja-gereja Indonesia ikut bertanggung jawab dalam membangun kembali keadaban publik yang rusak agar berkembanglah habitus yang baru.
Dalam hal ini, menurut KWI, Gereja dapat mengembangkan budaya alternatif dalam lingkup tiga poros kekuatan yang sama-sama mengelola ruang publik.
Pertama, Gereja perlu terus-menerus menyuarakan hukum yang adil dan harus berlaku untuk semua tanpa memihak kelompok tertentu. Struktur hukum harus melindungi kepentingan orang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir melalui kebijakan-kebijakan publik.
Kedua, Gereja sendiri perlu memainkan perannya sebagai komunitas yang transparan dan akuntabel, di mana uang tidak dipakai untuk kepentingan sendiri, tapi digunakan dalam fungsi sosialnya, yaitu untuk melaksanakan secara gesit dan tangkas solidaritas kemanusiaan.
Ketiga, ketika dikondisikan untuk mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara, Gereja mengembangkan budaya damai, terbuka, efektif, dan efisien dengan mendorong umat terlibat secara proaktif dalam dialog kemanusiaan demi terwujudnya persaudaraan yang tahan uji.
Menurut KWI, Gereja juga harus mengadakan pertobatan dalam dirinya sendiri sebagai bagian dari rasa sesalnya karena terlibat juga dalam hancurnya keadaan publik ini.
Pertama, Gereja harus menjadi sahabat bagi semua kalangan. Mendengar dengan hati dan mendoakan para penderita, korban kaum tergusur. Mengupayakan rasa senasib dan berpihak kepada mereka lewat advokasi dan bersama memperjuangkan keadilan.
Kedua, Gereja mengembangkan modal-modal sosial yang amat bernilai seperti kekayaan budaya nasional terutama keadilan sosial bagi seluruh bangsa, solidaritas, kesejahteraan umum, cinta damai. Serta kebudayaan setempat semacam kerelaan membantu saudara-saudari yang berkesusahan karena ditimpa bencana.
Next Page: 1 | 2 |
Sandra N. Natalia
|