MUI Diharapkan Lebih Arif dalam Terbitkan Fatwa
Thursday, Sep. 15, 2005 Posted: 8:59:59AM PST
Majelis Ulama Indonesia (MUI) diharapkan lebih arif dalam menerbitkan fatwa, sehingga tidak membuat situasi di masyarakat terjebak dalam perbedaan penafsiran yang melelahkan, Suara Pembaruan memberitakan.
Hal tersebut dikemukakan pemerhati Islam, Dr Haidar Bagir,dalam diskusi Kebebasan Berpikir Dalam Islam di kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Selasa (13/4).
"Para ulama harus memberikan petunjuk serta pembinaan yang lebih mendidik dan memberikan pencerahan bagi umat. Fatwa yang memberdayakan serta membuat umat lebih sejuk, arif dan bijaksana terasa lebih dibutuhkan," kata Haidar Bagir.
Menurut Haidar, Islam menjamin kebebasan berpikir dan sangat memuliakan akal serta pilihan manusia. "Semua kelompok dan mazhab dalam sejarah Islam semestinya sepakat pada kemulian posisi akal dalam ajaran Islam, karena penegasan-penegasan yang amat gamblang dalam tradisi Islam. Bahkan, hingga tidak melihat adanya batasan dalam potensi akal manusia ini," ujar Haidar.
Hal senada diungkap aktivis Jaringan Islam Liberal, Abdul Moqsith Ghazali, yang menilai kebebasan berpikir itu dijamin Islam. Bahkan, pandangan yang menolak kebebasan berpikir oleh manusia bukan hanya bertentangan dengan ajaran dasar Islam, melainkan juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Dikatakan, kebebasan yang dimiliki manusia merupakan perkara yang fundamental. Ia tidak bisa ditawar. Manusia adalah subyek yang bebas, dengan akal yang bekerja secara leluasa. Dengan akalnya, manusia dapat bertindak secara bebas atan nama dirinya untuk memilih berbagai jalan yang terhampar di depannya. "Islam menolak dengan sangat keras paksaan demi paksaan karena ia bertentangan dengan watak bebas yang menghujam dalam diri manusia," paparnya.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin, menegaskan kembali sikapnya soal penutupan dan pendirian tempat ibadah.
Pembangunan tempat ibadah adalah menjadi hak setiap warga negara dalam rangka melaksanakan ibadah yang dijamin UUD 1945 dan deklarasi universal hak asasi manusia.
"Termasuk Islam memberikan kebebasan manusia untuk beragama bahkan untuk tidak beragama," katanya. Ia berpendapat, jika di suatu tempat terdapat jamaah suatu agama dengan jumlah relatif cukup dan mereka membutuhkan tempat ibadah maka ikhwal itu tidak bisa ditolak.
Pembangunan tempat ibadah itu, katanya, harus mengedepankan etika sosial dengan kelompok lain yang juga ada di tempat itu.
"Sering jadi masalah adalah pendirian tempat ibadah di suatu lingkungan dengan mayoritas penduduk dengan agama tertentu, sementara agama baru itu hampir tidak ada pemeluknya, hanya ada satu atau dua orang, tapi membangun tempat ibadah yang besar," katanya.
Nofem Dini
|