Fatwa MUI Memicu Keprihatinan Tokoh Agama
Sejumlah tokoh agama mempertanyakan fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, ajaran Ahmadiyah, sekularisme, dan liberalisme agama yang memicu kontroversi dan reaksi keras dari mereka
Monday, Aug. 1, 2005 Posted: 9:38:08AM PST
Sejumlah tokoh agama mempertanyakan fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, ajaran Ahmadiyah, sekularisme, dan liberalisme agama yang memicu kontroversi dan reaksi keras dari mereka. Terutama pluralisme dipercaya menjadi dasar hubungan umat beragama di Indonesia yang masyarakatnya majemuk.
Hal itu diungkapkan pada hari Jumat, 29 Juli yang lalu saat sejumlah tokoh agama menemui Ketua Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa KH Abdurrahman Wahid di Gedung PB Nahdlatul Ulama, Kompas memberitakan.
Mereka yang antara lain hadir adalah Dawam Rahardjo, Johan Effendi (Indonesian Conference Religion and Peace-ICRP), Syafii Anwar (International Center for Islam and Pluralism-ICIP), Pangeran Jatikusuma (Penghayat Sunda Wiwitan), Romo Edi (Konferensi Wali Gereja Indonesia-KWI), Pdt Weinata Sairin (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia-PGI). Hadir juga tokoh agama Kong Hu Cu, Anand Krishna, para aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) dan tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU). Acara itu juga dihadiri wakil dari anggota Ahmadiyah, YH Lamardi yang mengaku tidak bisa melakukan apa pun kecuali hanya diam.
Dalam pertemuan itu Abdurrahman menolak keras fatwa MUI tersebut. Menurut Abdurrahman, Indonesia bukan suatu negara yang didasari satu agama tertentu. Selain itu, MUI juga dinilai bukan institusi yang berhak menentukan apakah sesuatu hal benar atau salah.
Mereka memprihatinkan pula sikap MUI yang mencoba memaksakan kehendak melalui pemerintah. Sedangkan pemerintah, seperti dikemukakan Presiden Yudhoyono, hanya akan mendengarkan MUI dan menteri agama. "Ini kekeliruan, bagaimana orang seperti dia pemimpin formal kok sampai keliru," ucap Gus Dur.
Sedangkan Suara Pembaruan mewawancari sekumlah tokoh misalnya Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, yang menilai fatwa MUI itu merupakan langkah mundur terutama bagi kehidupan antarumat beragama.
Tokoh agama Sunda Wiwitan, Pangeran Jatikusuma berharap semua pihak tidak terjebak oleh kelembagaan, apalagi menyangkut hak yang paling mendasar dalam berkeyakinan. "Lembaga apapun namanya, itu buatan manusia yang sering terjebak pada kepentingan pribadi, kelompok, politik dan dalam hal ini kembalikanlah pada keutuhan sebagai bangsa, kembali pada kesadaran diri sebagai manusia," katanya.
Direktur ICRP Johan Effendi berharap pemerintah tidak tinggal diam atas warga negaranya yang tidak bebas menjalankan keyakinannya. " Kalau memang tak bisa menjamin warganya sebaiknya pemerintah bekerjasama dengan PBB dan UNHCR agar orang-orang itu bisa pindah menjadi warga negara di negara yang menjamin kebebasan menjalankan keyakinannya," katanya.
Husein Anwar, dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah -Jakarta, yang dihubungi secara terpisah, mengemukakan kemajemukan merupakan ciri paling mendasar dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Hingga kini, kemajemukan adalah faktor paling berat yang dihadapi bangsa Indonesia lebih dari setengah abad sejak republik ini terbentuk.
Sandra Pasaribu
|