Depag: Kearifan Lokal Efektif Bina Kerukunan Umat Beragama
Dalam sebuah artikel di Sinar Harapan, ditulis bahwa konflik antarumat beragama di Indonesia dinilai sudah sedemikian serius, lantaran belum adanya wadah komunikasi yang efektif
Thursday, Jun. 16, 2005 Posted: 10:53:46AM PST
Dalam sebuah artikel di Sinar Harapan, ditulis bahwa konflik antar umat beragama di Indonesia dinilai sudah sedemikian serius, lantaran belum adanya wadah komunikasi yang efektif, sehingga antarumat beragama saling curiga satu sama lain. Kegiatan strategis sangat dibutuhkan dalam rangka menemukan cara efektif untuk mengelola kemajemukan dan keanekaragaman latar belakang kultural masyarakat.
Masalah hubungan antarumat beragama biasanya disebabkan dua faktor besar, yaitu faktor keagamaan dan nonkeagamaan. Faktor nonkeagamaan, khususnya politik dan ekonomi, sesungguhnya adalah yang paling sering mengakibatkan terjadinya konflik.
Hanya saja faktor-faktor tersebut berimpitan dengan faktor lain seperti kesukuan atau etnik dan agama, sehingga permasalahan kemudian menjadi sangat kompleks.
Adapun permasalahan dalam hubungan antarumat beragama yang diakibatkan oleh faktor keagamaan, antara lain terkait pendirian tempat ibadat, penyiaran agama, pendidikan agama maupun perkawinan beda agama, biasanya justri tidak menyebabkan konflik yang besar dan meluas.
Konflik jenis kedua ini dalam kenyataan tidak pernah berkembang dalam skala besar, bahkan pada umumnya dapat segera diatasi setelah terbangun hubungan yang baik antara pemuka agama pada tingkat akar rumput. Dalam masalah pendirian rumah ibadah, misalnya, jika diduga akan menimbulkan ketidaknyamanan penganut agama lain, maka atas kesepakatan para pemeluk agama dilakukan modifikasi, misalnya dengan pergeseran letak rencana tempat pembangunan rumah ibadat dimaksud.
Dalam konteks demikian, Departemen Agama menilai dialog pengembangan wawasan multikultural menjadi sangat penting. Tujuannya untuk lebih memahami dan mewaspadai berbagai faktor yang terkait hubungan antarumat beragama, baik yang mendorong konflik maupun integrasi, mengidentifikasi kearifan lokal.
Dialog juga dimaksudkan mencari alternatif model untuk merajut kembali potensi kerukunan dari pluralitas, agar senantiasa menjadi aset untuk memperkuat kerukunan umat beragama. Untuk itu, masyarakat hendaknya membangun suatu rasa kebangsaan bersama, dengan tetap menghargai, mengedepankan dan membanggakan pluralisme masyarakat.
Sekretaris Departemen Agama Faisal Ismail, dalam dialog pengembangan wawasan multikultural antara pemuka agama pusat dan daerah di Pontianak, Kalimantan Barat, belum lama ini mengatakan dari rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam tiga tahun terakhir, telah dicatat berbagai kearifan lokal yang selama ini efektif dalam rangka membangun masyarakat yang lebih rukun dan damai.
Sebagai contoh, di Medan, Sumatera Utara, telah sejak lama dikenal adat dalihan na tolu yang berfungsi merekatkan masyarakat, walaupun berbeda agama dan etnis. Di Pekanbaru dan Jambi, terdapat budaya Melayu dan adat Melayu yang sarat dengan petuah yang bijak untuk menunjung tinggi persatuan bangsa.
Di Jawa Timur, kata Faisal, terdapat konsep siro yo ingsun, ingsun yo siro (Anda ya saya, saya ya Anda) yang merupakan perwujudan konkret egalitarianisme dan sikap persaudaraan. Di Kalimantan Tengah terdapat rumah betang, yaitu rumah panjang yang dihuni berbagai anggota keluarga yang mungkin berbeda agama, tetap hidup damai dilandasi cinta, kasih sayang, dan rasa persaudaraan.
Next Page: 1 | 2 |
Nofem Dini
|