Pemimpin Kristiani Kritik Kehadiran Militer di Papua
Mereka mendorong penguatan institusi sipil agar sungguh-sungguh melayani kepentingan rakyat secara profesional
Friday, Apr. 29, 2005 Posted: 4:48:17PM PST
Pemimpin umat Kristiani di Jayapura mengkritik kehadiran militer yang berlebihan di Papua karena kerap menimbulkan dampak buruk. Untuk mewujudkan perdamaian di Papua, mereka mendorong penguatan institusi sipil agar sungguh-sungguh melayani kepentingan rakyat secara profesional.
Kritik dan seruan ini disampaikan Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar OFM didampingi Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan (SKP) Jayapura Br J Budi Hernawan OFM dan Edi Trisno dari Tokoh Agama Kristen Protestan di Jayapura, Rabu (27/4).
Ada beberapa pokok pikiran yang diuraikan oleh kedua pemimpin gereja ini, di antaranya unsur keadaan masyarakat Papua dari sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berlangsung puluhan tahun dan tidak banyak mengalami perubahan.
Selain itu juga adanya kontradiksi kebijakan pemerintah seputar pelaksanaan Otonomi Khusus yang terus mengalami kemacetan, setelah Inpres No.1/2003 dianulir oleh Mahkamah Konstitusi pada 11 November 2004 dan PP No. 54/2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) ditetapkan. MRP belum juga terbentuk hingga kini sehingga pelaksanaan otsus tetap terkatung-katung.
Mereka juga menilai, tingkat kesejahteraan masyarakat Papua tetap rendah dari segi pendidikan, pendapatan ekonomis, kesehatan (khususnya HIV/AIDS) dan juga masalah lapangan pekerjaan. Potensi konflik dibidang politik juga disinggung.
Berdasarkan paparan faktual tersebut, para pemimpin gereja tak henti-hentinya menyuarakan tuntutan keadilan dan upaya membangun damai. Namun menurut mereka, langkah ini oleh sejumlah kalangan kerap dinilai sebagai kedok politik oleh pihak-pihak tertentu.
Mereka menegaskan bahwa seruan mereka mengenai HAM, upaya mereka membangun damai sebagai syarat mutlak pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adalah didasarkan atas misi yang didasarkan atas keyakinan iman mereka dan tidak didasarkan pada kepentingan politik tertentu.
”Hal ini berarti bahwa kami harus membangun persekutuan di antara kita dan harus berjalan bersama rakyat kita dalam upaya menangani konflik dan mengubah keadaan yang mengarah pada konflik menjadi keadaan yang damai di mana setiap orang dapat tumbuh dan berkembang secara bermartabat sebagai manusia,”kata Uskup Leo dalam diskusi panel yang diorganisasi oleh Fransiscans International, Sekretariat Keadilan dan Persauan (SKP) Jayapura dan mitra kerja lainnya.
Nofem Dini
|