Franz Magnis Suseno: Agama Abad Ke-21 Harus Bersifat Humanis dan Saling Menghargai
Jikalau agama pada abad ke-21 masih berniat membuka jalan bagi manusia menuju Tuhan, agama itu tidak boleh fanatik dalam arti sempit
Tuesday, Apr. 26, 2005 Posted: 1:18:04PM PST
Jikalau agama pada abad ke-21 masih ingin kredibel dan berniat membuka jalan bagi manusia menuju Tuhan, maka agama itu tidak boleh fanatik dalam arti sempit. Agama harus menghormati dan menghargai mereka yang berbeda keyakinan dan cocok dengan intuisi manusia tentang sesuatu yang luhur dan baik. Agamawan juga harus membawakan diri dengan cara yang tidak mempermalukan Tuhan.
“Singkatnya, agama pada abad ini haruslah bersifat humanis," kata Franz Magnis-Suseno SJ, rohaniwan dan staf pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, pada seminar nasional “Membangun Masyarakat yang Harmonis dan Berkeadaban dalam Bingkai Spiritual”, Sabtu, 23 April di Purwokerto, Jawa Tengah.
Seminar ini merupakan rangkaian peringatan HUT Ke-8 Forum Persaudaraan Antarumat Beriman (FPAUB). FPAUB dirintis oleh Dr KH Noer Iskandar al Barsany, tokoh Nahdlatul Ulama dan pengasuh Pondok Pesantren al Hidayah, dan mendiang Uskup Purwokerto Mgr Hardjasoemarta pada awal April 1996.
Menurut Suseno, sejak akhir abad ke-20 humanisme sudah menjadi cita-cita transkultural dan universal yang menyangkut sikap-sikap dan mutu etis lembaga-lembaga politik yang menjamin martabat manusia. Humanisme adalah keyakinan bahwa setiap orang harus dihormati sebagai pesona, sebagai manusia dalam arti sepenuhnya, bukan karena ia pintar atau bodoh, baik atau buruk. Semua ini dengan tidak tergantung daerah asal usulnya, komunitas etnik atau dari agama mana, dan apakah dia laki-laki atau perempuan.
"Humanisme berarti menghormati orang lain dalam identitasnya," tegasnya.
Agama yang bersifat humanis berarti tidak membenarkan kekejaman. Sebaliknya menghormati setiap orang dalam keutuhannya sebagai manusia dan akan mengarahkan penganutnya membangun sikap baik dalam berhadapan dengan siapa saja.
"Agama yang humanis akan membangun suasana masyarakat yang bernapaskan perikemanusiaan, keberadaban, keterbukaan, toleransi, dan kepositifan," tegas Franz Magnis.
Orang jangan mengatas-namakan Tuhan apabila ia membawa diri dengan cara yang menurut ukuran sopan santun biasa saja tidak pantas dan tidak masuk akal. "Itu justru merupakan skandal terbesar keagamaan," tambahnya.
Franz Magnis juga menyebut pluralitas keyakinan sebagai ciri masyarakat yang tidak dapat dihindari, perlu diterima dengan baik, positif, tanpa merasa terancam. Akan tetapi, perlu disadari pula bahwa pluralisme berarti mengakui bahwa semua agama sama.
Pluralisme seperti itu sebenarnya tidak plural karena kalau semua agama sama benarnya, maka sebenarnya tidak ada perbedaannya. "Justru pluralitas di Indonesia itu sangatlah luar biasa," katanya.
Ia mengatakan, dari Sabang sampai Merauke, bangsa yang sedemikian majemuk seperti bangsa Indonesia hanya akan bersatu apabila semua dapat memandang negara sebagai rumahnya sendiri, milik sendiri, tempat di mana identitas kultural dan religius masing-masing komunitas tidak terancam.
Sedangkan Prof Dr Machasin MA dari Universitas Islam Negeri Yogyakarta berpendapat bahwa seharusnyalah orang menghilangkan penggambaran pengikut agama lain sebagai musuh. Ini agar umat beragama dapat hidup dalam kemajemukan secara harmonis walau untuk mencapai hal ini tidaklah mudah.
Next Page: 1 | 2 |
Sandra Pasaribu
|