RUU Kerukunan Umat Beragama Bertentangan dengan UUD 1945, kata Pakar Hukum
"Transparansi dan diskusi rasional harus diutamakan daripada menghimpun rasa kebencian"
Thursday, Mar. 24, 2005 Posted: 11:47:43AM PST
Rancangan Undang-Undang kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) yang telah disusun oleh Balitbang dan Diklat Departemen Agama menurut pakar hukum wajib dikritisi. Menurut kaca mata hukum, ada beberapa masalah yang patut diperdebatkan dari RUU KUB ini salah satunya adalah munculnya banyak pasal dalam RUU KUB yang dapat diinterprestasikan bertentangan dengan UUD 1945.
Hal tersebut dinyatakan pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr Denny Indrayana, dalam seminar tentang RUU KUB yang diselenggarakan oleh Madia - ICRP pada hari Selasa, 22 Maret, di Jakarta.
"Tiga contoh saja misalnya, pertama adanya limitasi penyiaran beragama (pasal 8) dihadapkan dengan kewajiban menyebarluaskan ajaran agama yang ada di dalam agama Islam maupun Kristen. Kedua menyangkut proses perizinan pembuatan rumah ibadah (Pasal 12) dihadapkan pada ketentuan konstitusi bahwa setiap orang berhak menganut agamanya. Ketiga, adanya pembatasan agama yang diakui pemerintah menjadi hanya agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, hal ini dapat dianggap melanggar hak beragama dari kelompok lain seperti Konghucu. Pembatasan lima agama ini memperpanjang paradigma orde baru di mana negara mengintervensi beragama warga negaranya," ujar Denny.
Denny mengatakan, delegasi pembuatan peraturan perundangan ini tidak secara nyata diamanatkan oleh peraturan yang lebih tinggi, yaitu di dalam Undang Undang Dasar 1945. RUU KUB menyebutkan tentang dasar "mengingat" menurut Pasal 29 ayat 1 dan 2 dan Pasal 31 ayat 3. Pasal 29 jelas tidak menyebutkan amanat untuk membuat UU KUB. Sedangkan pasal 31 ayat 3 UUD mengamanatkan pembuatan undang undang, tetapi tidak terkait dengan KUB, melainkan lebih pada peningkatan iman dan takwa.
Dapat dikatakan, pencantuman Pasal 31 ayat 3 sebagai dasar pembuatan UU KUB terlalu dipaksakan. Berdasarkan ketidakjelasan wewenang tersebut, masalah kerukunan umat beragama tidak dapat dibuat dalam suatu produk Undang Undang. Argumentasi ini akan ditentang oleh kelompok yang ingin RUU KUB diberlakukan. Diantara kedua kelompok ini posisinya relatif sama kuat.
"Siapakah yang lebih unggul dapat ditentukan dalam persidangan di hadapan Mahkamah Konstitusi. Caranya, setelah UU KUB diundangkan dapat diajukan pengajuan hak uji formal terhadap Undang Undang tersebut, yang artinya mempermasalahkan proses pembuatan Undang Undang itu," Ia melanjutkan.
St Sunardi, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Sanata Dharma mengatakan, berbagai kelompok masyarakat harus lebih asertif atas apa yang dialami berkaitan dengan pengalaman kehidupan kerukunan beragama dengan suka dan dukanya.
"Maksudnya, kita sebaiknya berani mengakui apa yang selama ini kita anggap bernilai sesuai dengan pengalaman kesejarahan kita. Kita harus menciptakan bahasa pengalaman kita sendiri dan jangan dibajak oleh jargon-jargon masa lalu," ujarnya.
Ia mengatakan bagaimanapun RUU KUB merupakan salah satu anak dari rahim sejarah masyarakat Indonesia. Ia menggunakan istilah, apakah dia anak yang sehat, anak lucu, atau anak haram, hal itu bisa kita pakai untuk melihat "orang tua kita". Ia berpendapat, RUU ini menunjukan bahwa ada sebagian masyarakat yang ingin mengatur kehidupan beragama setelah sekian lama mereka mengatur agama hanya karena didikte oleh negara.
Next Page: 1 | 2 |
Nofem Dini
|