Forum Persaudaraan Umat Beriman Merayakan Perjalanan Ke-8 Tahun
Sebuah Upaya Mempersatukan Bangsa Tanpa memandang Agama
Saturday, Mar. 5, 2005 Posted: 8:37:56AM PST

Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) memperingati keberadaannya selama delapan tahun pada hari Minggu, 27 Februari yang lalu. Berdirinya FPUB diperingati di Pagelaran Kraton Yogyakarta.
Dalam acara itu tampil sejumlah atraksi kesenian. Di antaranya grup Selawatan Katolik (Selaka) dari Turgo, Merapi. Grup ini menampilkan tembang-tembang berbahasa Jawa yang isinya memuji Tuhan Yesus dan mengingatkan umat manusia di Indonesia untuk bersama-sama membangun negara dengan damai.
FPUB berdiri pada delapan tahun yang lalu, ketika itu berkumpul sekitar 70 orang dari berbagai agama dan elemen di Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede, Yogya, untuk menyingkapi persoalan yang tengah berkecamuk dan semakin mengkhawatirkan yang terjadi di Indonesia.
"Pertemuan kala itu berlangsung tegang. Nada saling tuduh dan saling tuntut mewarnai perbincangan masing-masing kelompok," ungkap Kiai Muhaimin, Pengasuh Ponpes Nurul Ummahat, demikian dilaporkan oleh Sinar Harapan.
Dalam pertemuan itu pembicaraan lebih terbuka dan kritis, meski kadang terjebak dalam dialog bernuansa politis. Namun karena kesungguhan peserta dan banyaknya dukungan dalam bentuk sumbangan pemikiran, berdirilah sebuah komunitas baru yang dinamakan Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) Yogyakarta, pada tanggal 27 Februari 1997.
Dasar forum tersebut bukan berdasar urusan politik atau ekonomi. Kata "beriman" adalah ciri khas forum ini, dan mereka tidak menggunakan istilah beragama. Forum ini mengandalkan relasi dan hubungan persaudaraan senasib seperjuangan.
Romo Y Suyatno Hadiatmaja PR, salah satu tokoh FPUB mengatakan, ”FPUB tidak akan mencampur-adukkan agama atau tidak mau membentuk agama baru. FPUB menghormati semua orang yang menyembah Tuhan dengan sebutan dan cara masing-masing serta memberikan kedudukan setara dengan mereka yang masuk dalam agama resmi,” tegasnya.
FPUB merasakan hambatan masih banyak meskipun banyak berkiprah dalam dialog antar iman dari tingkat grass root hingga di forum internasional. Menurut Kiai Muhaimin, hambatan birokrasi dan kecurigaan-kecurigaan politis menjadi batu sandungan yang menuntut komitmen tinggi bagi komponen yang bergabung.
FPUB menggelar agenda rutin berupa dialog kerja dan dialog wacana di desa-desa setiap bulan. Mereka juga berkampanye secara damai dalam berbagai momentum kritis. Salah satunya ketika bersama dengan Komite Kemanusiaan Yogyakarta yang dimotori oleh almarhum Dr. Lukman Sutrisno, FPUB mengorganisasi pertemuan di tingkat basis di tingkat RT di daerah rawan konflik dalam memelihara situasi damai di kota Yogyakarta.
Kiai Muhaimin beserta tokoh-tokoh agama lainnya yang tergabung dalam FPUB tak ingin berhenti pada dialog antar umat saja tetapi lebih ke kebangsaan. ”Selama ini ada dikotomi kalau Islam banget dicap tak nasionalis, demikian pula kalau yang nasionalis, dikatakan abangan. Nah karena itu, kami akan tarik ke arah kebangsaan,” katanya.
Menurut Kiai Muhaimin, dekonstruksi rezim wacana hasil rekayasa Orde Baru mengenai SARA yang dianggap sebagai pemicu konflik tidak ditabukan lagi, bahkan menjadi wacana publik yang dibicarakan luas dalam berbagai perspektif ilmu pengetahuan.
Next Page: 1 | 2 |
Nofem Dini
|