Emmanuel Garibay
Seniman Teolog yang Kritis dan Tegas
Wednesday, Sep. 15, 2004 Posted: 11:09:48AM PST


|
Otokritik Menggelitik dengan Lukisan |
Nama Emmanuel Garibay mungkin belum banyak dikenal publik Indonesia. Namun sebagai pelukis, ia cukup populer di kalangan seniman Kristen Asia, khususnya di Filipina, negara asalnya. Sebagai seniman sekaligus teolog kaum awam, karya-karyanya mencerminkan realitas sosial dan kritik tajam terhadap gereja.
Apa yang terpikir saat Anda melihat beberapa lukisan Garibay di halaman ini? Kalau tersentak kaget, heran dan bingung, Anda tidak sendirian. Setidaknya itulah yang terekam dalam percakapan dengan sejumlah pengunjung saat pameran tunggalnya di Yogyakarta, medio Juni lalu.
Memang tidaklah mudah bagi awam memahami karyanya yang kompleks, sarat makna dan satire. Seperti dikatakan pengamat seni rupa Sudjud Dartanto, selain menggambarkan Yesus dengan rupa lokal, Mani, panggilan akrabnya, juga mengusung pelbagai fragmen parodi dan ironi dalam simbol-simbol dan ikon-ikon liturgis. Karya-karya Kristologi yang ditampilkan berbeda dengan Kristologi era Renaisans yang masif dan agung. Inilah sisi yang ‘mengejutkan’ dan ‘mengguncangkan’ pemahaman konvensional selama ini.
Bagi pemerhati seni dan seniman, karya Mani justru mengundang decak kagum. “Mani mampu keluar dari retorika altar, tampil dari kedalaman arti sebagai Kristen,” puji Romo Mudji Sutrisno. Lewat parodi karyanya, Mani memakai budaya Barat untuk menentang budaya itu sendiri. Menurut Dr. Gerrit Singgih, “karena cengkeraman kolonial ada dalam gambaran-gambaran di dalam gereja, kekuatannya dinetralisir dengan membuat gambar itu tampak aneh dan lucu.” Selain itu, Mani juga senang bereksperimen dengan post modern sebagai kritik pada globalisasi.
Interpretasi: Otokritik Menggelitik
Beberapa dari lukisan Mani yang terkenal ialah Bathala (1997) dan Emmaus (1997). Bathala melukiskan sosok Yesus sebagai pekerja. Stigmata di kedua tangan dan lebih dari sepasang mata menunjukkan sifat keilahian. Palu dicitrakan sebagai alat melepaskan paku penindasan sekaligus membangun struktur harapan baru, dan linggis untuk membongkar ketidakadilan. Ada sepasang mata yang menantang, sementara dua mata lainnya terfokus pada hal-hal di luar bidang gambar, mengarah ke masa depan.
Dalam Emmaus, ia lebih menampilkan lelucon. Selama ini Yesus digambarkan sebagai pria berkulit putih dan berbagai konsep konvensional lainnya. Ini menjelaskan kesulitan para murid mengenali Yesus setelah kebangkitan-Nya dengan tampilan fisik wanita. Para murid pun gembira! Interpretasi bisa bergerak ke area rawan manakala peran wanita dalam agama masih menjadi persoalan, dan misteri Tuhan dengan selera humor yang tinggi.
Memadukan Sosiologi, Teologi dan Seni Rupa: Problematik Kemanusiaan
Kepiawaian Mani menampilkan realitas dan kritiknya tertuang dalam kanvas, sarat dengan simbol sosial, politik dan religius. Visualisasi karyanya semakin kuat dengan landasan sosiologi dan teologi yang dipelajari sebelumnya. “Sebelum belajar seni, saya belajar sosiologi dan teologi di seminari. Jadi hasilnya merupakan kombinasi dari studi tersebut,” jelasnya.
Next Page: 1 | 2 |
|