Terorisme (Agama) Tak Pernah Mati
Wednesday, Dec. 22, 2004 Posted: 2:06:08PM PST
Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Immanuel dilempar bom pada Minggu 12 Desember malam kembali diguncang bom. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Gereja Anugerah Masomba yang terletak beberapa kilometer dari GKST ditembaki orang tak dikenal. Akibat peristiwa tersebut, anggota Jemaat yang tengah melakukan kebaktian di gereja tersebut kalang kabut.
Teror di Palu seolah tak pernah habis. Sejak Juli 2001, bom sudah mengguncang Markas Besar Polda Sulawesi Tengah saat sekitar 500 warga Poso sedang berunjuk rasa. Januari 2002, tiga bom meledak di Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, Gereja Protestan di Indonesia (GPdI), dan Gereja Kristen Indonesia Sulsel Jemaat Palu saat malam pergantian tahun.
September 2002, ledakan kembali mengguncang Gereja Toraja, Palu. Oktober 2002, Robert Bofe, penasihat hukum terpidana mati kasus kerusuhan Poso, mendapati bungkusan mirip bom di rumahnya. November 2002, Polres Palu menemukan 250 kg amonium nitrat yang dapat dirakit sebagai bahan baku bom.
Januari 2003, Polres Palu mengamankan 17 karung (sekitar 425 kg) amonium nitrat sebagai bahan baku bom, di Donggala. Juli 2004, ancaman bom kembali muncul ketika pemakaman Pendeta Susianti Tinulele di Gereja Efata yang tewas ditembak seseorang ketika sedang memimpin kebaktian.
Serentetan kasus di Palu tersebut menunjukkan bahwa wilayah ini mempunyai "keistimewaan" sehingga selalu menjadi "target operasi" dari kelompok-kelompok yang ingin mengaduk-aduk emosi keberagamaan masyarakat. Dapat dipastikan apa yang terjadi di Palu tidak dapat dilepaskan dari konteks kekerasan bernuansa agama di Indonesia.
Peristiwa di Palu yang senantiasa menjadikan simbol-simbol agama (gereja dan pendeta) sebagai sasaran "operasi" tentu saja bukan tanpa maksud.
Secara sederhana, target jangka pendeknya adalah ingin menciptakan ketegangan antarumat beragama. Kalau yang diserang simbol Kristen, pikiran pendeknya yang patut dicurigai adalah kelompok Islam.
Untung saja kelompok agama sudah mulai dewasa sehingga tidak mudah terjebak dengan permainan demikian.
Tanpa bermaksud mengembangkan opini tanpa dasar, aksi kekerasan dengan menjadikan simbol agama sebagai sasaran belakangan memang menjadi tren baru. Pengeboman tempat ibadah, penembakan jemaat, pendeta serta membunuh orang tak berdosa agaknya sudah menjadi media komunikasi baru untuk melawan siapa saja yang dianggap sebagai musuh.
Bahkan, para teroris juga tidak lagi peduli apakah serangan itu tepat pada sasaran atau tidak, mendapat dukungan banyak orang atau tidak, mengorbankan orang tidak bersalah atau tidak.
Bagi mereka yang penting adalah menarik perhatian publik dan membentuk opini tertentu.
Dalam berbagai kasus, terorisme dalam berbagai manifestasinya selalu melibatkan komunitas dan jaringan organisasi yang cukup besar.
Aksi yang mereka lakukan juga butuh dukungan moral yang kuat untuk menjustifikasi (baca, membenarkan) aksi destruksi atau untuk memberikan pengampunan serangan brutal terhadap orang lain yang bukan musuhnya.
Dalam konteks inilah, terorisme menuntut "persetujuan" atau keyakinan internal yang kukuh, pengakuan sosial, dan tanda kebenaran dari ideologi yang melegitimasinya. Jika sudah sampai pada puncak keyakinannya, nyawa dan kehidupan menjadi tidak berarti lagi.
Next Page: 1 | 2 | 3 |
Eva N.
|