Natal dan Papua
Sabam Siagian
Monday, Dec. 6, 2004 Posted: 11:37:34AM PST
Dalam pertemuan baru-baru ini dengan sejumlah tokoh-tokoh masyarakat Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan ikut merayakan Natal di Jayapura. Seorang teman yang hadir kemudian cerita betapa Presiden dengan tegas menandaskan bahwa otonomi khusus adalah ''pilar utama'' bagi Papua. Tampaknya Pak SBY dapat meyakinkan para tokoh Papua itu bahwa ia bertekad akan menyelesaikan kesemrawutan yang membebani Papua sekarang.
Kalau menteri kabinet " Indonesia Bersatu " ditugaskan untuk menyusun program prioritas selama 100 hari pertama dari pemerintahan SBY-Jusuf Kalla ini, maka menyelesaikan masalah Papua sebenarnya merupakan agenda utama Presiden dalam periode tersebut.
Terjalin ikatan khas antara SBY dan soal Papua. Hal itu disebabkan oleh Instruksi Presiden (Megawati Soekarnoputri) No. 1/2003. Ketika dokumen itu ditandatangani, SBY bertugas sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Inpres 1/2003 ini diliputi kabut misterius.
Berdasarkan instruksi presiden itu, Provinsi Papua dibagi tiga dan dipotong seperti kue lapis, dari atas ke bawah. Provinsi Papua (huruf ''v'') sesuai sebutan dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dipenggal menjadi 3 (tiga) propinsi (huruf ''p'').
Inpres Nomor 1/2003 itu yang diduga muncul karena prakarsa Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Jenderal Hendropriyono dan Menteri Dalam Negeri Jenderal Hari Sabarno menunjuk pada Undang-Undang No. 45/1999 yang ditandatangani oleh Presiden BJ Habibie. Undang-undang tentang ''Irian Jaya'' itu memakai istilah propinsi, dengan huruf ''p''.
Para pakar ilmu hukum cenderung berkonklusi bahwa UU No. 45/1999 sebenarnya telah dinetralisasi oleh UU No. 21/2001 yang lebih baru dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang lebih demokratis. Kenapa Presiden Megawati mengeluarkan instruksi berdasarkan undang-undang yang bobotnya telah pudar, meskipun tidak secara tegas dinyatakan batal?
Lagi pula, UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dalam salah satu pasalnya menandaskan bahwa pemekaran Provinsi Papua menjadi beberapa provinsi harus dibicarakan dalam Majelis Rakyat Papua (MRP) yang akan dibentuk.
Kekecewaan yang timbul dalam sebagian besar masyarakat Papua oleh tindakan unilateral Presiden Megawati itu melalui instruksinya dapat dipahami kalau anda yang mengetahui sejarah pembentukan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua itu.
Ia lahir dalam semangat reformasi yang marak selama masa kepresidenan Abdurrahman Wahid. Perumusannya didasarkan berbagai masukan dari tokoh-tokoh masyarakat "Irian Jaya" yang kemudian diganti menjadi 'Papua". Berbagai diskusi intensif diselenggarakan, antara lain diprakarsai oleh Rektor Universitas Cendrawasih, Prof Frans Waskoprik.
Dalam rentetan diskusi intensif menjelang lahirnya undang-undang tentang otonomi khusus Papua itu ada masalah sulit yang harus ditangani. Yakni bagaimana caranya menjembatani jarak antara realisme bahwa memang sebaiknya tetap berada dalam keluarga besar nasion Indonesia dan idealisme untuk tetap memelihara identitas etnologis.
Next Page: 1 | 2 |
|