Menjemput Perubahan: Catatan dari Luar Sidang Raya XIV PGI
Oleh Trisno S Sutanto
Monday, Dec. 6, 2004 Posted: 11:36:39AM PST

Konon, menurut cerita yang sudah legendaris, Protestanisme lahir ketika Marthin Luther memakukan ke-95 dalil teologisnya yang mashyur di gerbang puri Wittenberg. Dalil pertama yang ditulisnya: Bertobatlah! Berubahlah oleh karena pembaharuan budimu!
Saya yakin, bukan sekadar kebetulan -saya membayangkan Providentia Dei, kalau kata ini masih bermakna -kalau pada hari-hari ini suara profetis itu kembali terdengar. Itulah imperatif yang muncul dari pertemuan para Uskup di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), seminggu sebelum lebaran lalu, saat menganalisa hancurnya keadaban (civility) publik dan seruan untuk membangun habitat baru.
Jika gereja Katholik Roma mau turut serta dalam panggilan tersebut, begitu kesimpulannya, maka harus dimulai dengan langkah awal: pertobatan radikal! Itu pula suara kritis yang berkembang selama Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Boyolali, Jawa Tengah.
Musyawarah besar kaum muda nahdliyin di Cirebon beberapa bulan sebelumnya merumuskan imperatif pertobatan radikal untuk menye-lamatkan NU dari jebakan pertarungan syahwat kekuasaan.
Hari-hari ini suara yang menggemakan seruan para nabi di padang gurun kembali terdengar di Wisma Kinasih, Caringin. Sidang Raya (SR) XIV Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang dipercepat menandakan situasi "krisis" yang seperti laiknya setiap krisis, menunjuk pada dua arah: Ke luar, sebagai cerminan irrelevansi dan insignifikansi kehadiran kekristenan yang sudah semakin akut sejak Pdt Dr Eka Darmaputera menengarainya pada pertengahan 1990-an. Ke dalam, sebagai undangan -malah perintah, untuk meretas jalan-jalan baru.
Apa yang dipertaruhkan memang menohok pada jantung keberadaan kekristenan itu sendiri: Untuk apa (atau siapa) gereja ada? Untuk apa (atau siapa) kekristenan hadir di Indonesia? Untuk apa (atau siapa) Yesus harus disalibkan?
Bagaimana SR XIV menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, jelas akan turut menentukan apakah PGI (dan gereja pada umumnya) memang masih layak ada di bumi Indonesia. Sebab, jika jawaban yang diberikan adalah demi ke(ny)amanan diri sendiri, maka gereja sudah mengkhianati fitrah dan panggilannya, dan karena itu tidak layak untuk tetap ada.
Gereja-gereja seperti itu hanyalah museum tempat ritus-ritus antik dipelihara, rumusan dogma diulang-ulang dengan bebal, dan ajang pertarungan syahwat kekuasaan demi imbalan secuil temobok ke(ny)amanan. Lalu untuk apa gereja seperti itu dipertahankan?
Panggilan gereja, yang menjadi fitrah keberadaannya, adalah untuk menjadi makin sama dengan Yesus, Sang Kepala Gereja, yang hidup dan mati demi sesama. Hidup, sengsara, dan wafat Yesus adalah teladan satu-satunya bagi gereja, yakni kehidupan yang ada dan terarah demi sesama, khususnya mereka yang miskin dan tertindas.
Itulah alasan keberadaan satu-satunya bagi gereja: mengada bagi "orang lain" (the others), karena hanya perjumpaan dengan wajah sesama yang menderita, yang mewahyukan wajah Allah sendiri, berarti juga berjumpa dengan "Sang Liyan" (the Other).
Digumuli
Saya kira tantangan yang dihadapi PGI dalam SR "istimewa" kali ini menjadi sekaligus cermin tantangan yang harus digumuli oleh institusi-institusi keagamaan di Tanah Air.
Next Page: 1 | 2 |
|