The Polar Express, Lukisan Hidup yang Berisiko
Wednesday, Nov. 10, 2004 Posted: 7:53:27PM PST
Film animasi benar-benar merajai 2004. Shrek 2 menjadi film terlaris ketiga dalam sejarah. The Incredibles pekan lalu ikut mendobrak box office Amerika, meraup USD 70,7 juta hanya dalam tiga hari. Dan sekarang, tampil The Polar Express. Seperti The Incredibles, film garapan Robert Zemeckis (Forrest Gump) ini juga dibuat dengan dana besar, dengan harapan pemasukan hebat dan meraih Oscar.
Meski demikian, The Polar Express bukanlah animasi biasa. Bahkan, sempat diperdebatkan apakah film ini animasi atau bukan. Debat itu penting, sebab itu berkaitan dengan boleh tidaknya film ini dinominasikan untuk Oscar. The Polar Express sendiri diangkat dari sebuah buku karya Chris Van Allsburg yang diterbitkan pada 1985, berkisah tentang perjalanan seorang anak ke Kutub Utara, mengunjungi Sinterklas.
Dari segi tampilan, The Polar Express jelas bukan animasi normal. Gambarnya penuh detail, seperti lukisan yang cenderung realistis. Dari segi penggarapan, ini jelas bukan animasi. Sebab, film ini menggunakan aktor manusia yang ditempeli sensor, dan gerakannya direkam untuk karakter animasi. Proses ini revolusioner, Zemeckis menyebutnya "Performance Capture".
Tom Hanks, aktor dua kali pemenang Oscar, merupakan bintang utama film ini. Dia memerankan lima karakter sekaligus. Mulai dari kondektur, anak, sampai Sinterklas.
Untuk karakter yang dia perankan, Hanks harus mengenakan baju hitam yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah. Lantas, dia ditempeli oleh 152 dots (lingkaran kecil sensor), termasuk di bagian wajah. Gerakan dan ekspresinya lantas "ditangkap" oleh kamera dan komputer, lantas dianimasikan.
Sebenarnya, teknik ini sudah pernah dipakai Hollywood, tapi tak sedetail ini dan bukan untuk seluruh film.
Mengapa harus menggunakan teknik ini? Ada beberapa alasan yang diungkapkan. Selain untuk menjajal teknologi baru, alasan utamanya sebenarnya adalah untuk mengangkat kisah The Polar Express secara utuh, seperti yang divisualisasikan oleh sang penulis.
Buku itu mengisahkan lokasi-lokasi dan adegan-adegan yang spektakuler, dan di dalamnya terdapat lukisan-lukisan yang menggambarkan lokasi dan adegan tersebut. Menurut Zemeckis, kalau harus menggunakan aktor manusia, biaya pembuatannya bakal terlalu mahal. Bakal dibutuhkan miliaran dolar AS hanya untuk membuat setting. Sedangkan kalau digarap dengan animasi biasa, kesannya terlalu kartun, "merendahkan" nilai artistik buku tersebut.
Apalagi, sang penulis tergolong "bawel". Van Allsburg pernah dikecewakan Hollywood, saat bukunya Jumanji difilmkan pada 1995. Waktu itu, dengan bintang utama Robin Williams, filmnya terkesan kurang artistik, terlalu action.
Maka, dipakailah teknik baru ini. Dan hasilnya memuaskan Zemeckis dan Van Allsburg. Zemeckis bilang, film ini seperti lukisan hidup. Sekarang, yang jadi pertanyaan, apakah penonton -khususnya anak-anak-bakal suka dengan tampilan artistik itu? Sebab, ketika dipertontonkan kepada test audience (penonton terbatas untuk riset dan evaluasi), hasilnya tidak solid. Ada yang bingung, mengapa kok animasi dibuat realistis. Dan kalau ingin dibuat realistis, kenapa kok tidak "realistis"?
Next Page: 1 | 2 |
|