2nd Symposium on Church Choral Music Digelar di Bandung
Indonesia, Ladang Subur Pengembangan Musik
Tuesday, Jul. 5, 2005 Posted: 11:46:39AM PST
Bandung menjadi tempat saksi kemampuan Indonesia sebagai pusat seni musik saat mengadakan 2nd Symposium on Church Choral Music yang berlangsung di Bandung, 19-22 Juni, demikian diberitakan Sinar Harapan.
Adalah Direktur Jurusan Musik Boston University, AS Prof Andre de Quadros, dalam pernyataan-pernyataan resminya maupun dalam ucapan informal dengan sesama pembicara dan peserta Indonesia melontarkan pujian ini.
"Bandung kembali membuktikan kemampuan dirinya sebagai pusat seni musik berartistik tinggi, tidak hanya untuk Indonesia, tapi juga kawasan ini, khususnya di bidang paduan suara," tutur Andre. "Indonesia memang patut diperhitungkan."
Pujian itu antara lain merujuk sukses penyelenggaraan simposium, terutama pertunjukan Mass in C Minor, KV 427 karya Mozart sebagai konser pembuka, yang merupakan penampilan perdana di Asia Pasifik dan ke-9 di dunia, dan Requiem opus 48 karya Gabriel Faure sebagai konser penutup. Pada Choir Olympic 2004 di Bremen, Jerman, Indonesia berhasil mencatatkan diri sebagai negara berperingkat keenam di dunia. Pada event yang diikuti 350 paduan suara dari 73 negara itu, Paduan Suara Gema Sangkakala yang didirikan 12 Juli 1987 di bawah asuhan Ir Wenny Pantouw, meraih Gold Medal untuk kategori Mixed Chamber Choir dan Silver Gold Medal untuk kategori Musica Sacra Acapella.
Lagu Indonesia juga sering mendapat penghargaan dunia, seperti lagu Siksik Si Batu Manikkam hasil aransemen Pontas Purba, lagu Bali Janger aransemen Budi Susanto Yohane, dan Toki Gong karya Christian Tamael terpilih sebagai 'the world earthsongs'.
Pujian Andre direspons dengan optimisme sekaligus keraguan di kalangan pemerhati musik yang mendengarnya, kata Sinar Harapan.
Pontas Purba, misalnya, melihat Indonesia memang potensial, antara lain karena memiliki begitu banyak etnis dan subetnis, masing-masing dengan segala keunikannya. Dia menyebut Indonesia sebagai "Asia mini". Juga kini banyak lahir pemusik-pemusik berbakat di Tanah Air.
"Masalahnya, sejauh mana optimisme itu bisa diimbangi dengan usaha untuk mewujudkannya," kata pencipta lagu dan anggota Tim Inti Nyanyian Gereja (TING) Yayasan Musik Gereja (Yamuger) itu.
Di satu sisi, Purba melihat dunia musik Indonesia sebetulnya menyedihkan karena selama ini kurang serius digarap. Banyak yang bisa bernyanyi atau memainkan alat musik, tapi kebanyakan masih sekadarnya. Musik belum sepenuhnya dihargai di sekolah-sekolah. Klat atau partitur kurang terlindungi Hak Karya Cipta.
Ia juga menunjuk tersendatnya pengembangan musik etnik bagi gereja adalah contoh konkret bagaimana musik kurang direspons di Indonesia. Masyarakat gereja sejauh ini menganggap lagu-lagu rohani asal Eropa yang merupakan musik yang indah.
"Kita seharusnya mampu merespons Tuhan dengan lagu-lagu pujian yang diangkat dari musik-musik etnik setempat (musica in loco)," kata Purba. Meskipun, tambahnya, ini pekerjaan yang tidak mudah dan harus dilakukan hati-hati, dan menjadi tugas Yamuger dan badan-badan terkait untuk menjawab tantangan ini.
Shinta Marthawati
|