Kuasa hukum korban saat memberikan keterangan di kantor Komnas Perempuan Jl. Latuharhary, Jakarta Pusat. (Foto: Kristiani Pos)
Kuasa hukum korban saat memberikan keterangan di kantor Komnas Perempuan Jl. Latuharhary, Jakarta Pusat. (Foto: Kristiani Pos)
Masih minimnya keadilan yang dirasakan oleh kaum perempuan di dalam masyarakat yang memiliki sistem patriakhi seringkali menyebabkan ketidakadilan semakin merajalela dan bahkan memberikan peluang untuk terjadinya apa yang disebut dengan istilah “Moral Hazard” yang dilakukan oleh pelaku yang melakukan ketidakadilan.
Kasus pelecehan seksual didalam masyarakat terutama di lembaga keagamaan sangat sulit untuk diungkap kepermukaan mengingat budaya patriarkhi dan tafsir-tafsir keagamaan yang sangat bias gender. Korban yang menuntut keadilan dan kebenaran seringkali dipersalahkan kembali oleh masyarakat dengan bermacam stigma (blamming the victim), padahal untuk kasus seperti ini dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan demi terpenuhinya hak-hak korban dan yang terutama agar kekerasan terhadap perempuan tidak terjadi lagi baik dalam keluarga, lembaga keagamaan, dan masyarakat.
Terkait dengan telah terjadi nya sebuah tindakan pelecehan seksual yang dialami oleh seorang perempuan berinisial (RES) yang dilakukan oleh salah satu pemimpin gereja HKBP, dengan inisial (Pdt. MKHS, MTh) di Distrik X Medan Aceh Sumatera Utara pada 4 dan 7 Mei 2007 yang hingga saat ini masih belum jelas penyelesaiannya. Korban adalah calon pendeta yang baru dua bulan ditugaskan di distrik X Medan Aceh dan merupakan salah staff pelaku.
Setelah kejadian itu korban melakukan pelaporan kepada pihak berwajib yang didampingi oleh team advokasi yang terdiri dari LSM Perempuan di Sumatera Utara. Tetapi karena pelaku mempunyai kekuasaan yang kuat di HKBP sehingga tidak mudah untuk menyeret pelaku ke meja hijau. Minimal sampai sekarang proses penyidikan terhadap pelaku masih saja belum dilaksanakan secara maksimal kepada polisi. Alasannya selalu ”klise” yang banyak dialami oleh perempuan korban pelecehan seksual yaitu yang menyangkut persoalan saksi kunci. Padahal kita tahu bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan banyak terjadi diruang ”tertutup” sehingga sangat sulit sekali korban mendapatkan pengadilan.
Belum lagi pelaku ini menggunakan alat kekuasaan nya untuk menekan balik korban dengan membuat opini buruk terhadap korban. Sehingga dengan kekuasaannya pelaku menggunakan tangan besinya menggunakan ”gereja” sebagai alat pembersihan dirinya sebagai pelaku. Tindakan pelaku ini membuat korban mengalami trauma dan justru mendapatkan stigma buruk oleh umat gereja sendiri.
Korban yang semestinya mendapatkan keadilan malah mendapat kekerasan lagi dalam bentuk lain pasca pelaporan ke pihak polisi. Situasi ini memang menjadi hal yang sering dialami oleh perempuan korban pelecehan seksual di Indonesia. Tim advokasi yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Korban Kekerasan Di Gereja (JPK2G) bersama korban melakukan tuntutan kepada pelaku melalui pemerintah bagi keadilan korban.
Tetapi kembali kekuatan dan kekuasaan pelaku yang tampaknya “tak tersentuh hukum” ini membuat keadilan bagi korban sangat sulit didapat. Maka tim JPK2G berencana akan mengembangkan jaringan yang lebih luas sampai ke tingkat Nasional. Dalam hal ini Korban bersama pendamping dari Sumatera melakukan advokasi ke Jakarta mulai tanggal 19 – 24 Agustus 2008.
Menurut rencana selama berada di Jakarta mereka telah menjadwalkan beberapa agenda yang akan dilakukan antara lain meminta dukungan kepada beberapa lembaga negara seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, Meneg PP, Fraksi - Fraksi DPR RI.
Rabu (20/8) lalu korban dengan didampingi oleh Tim JPK2G menyambangi kantor Komnas HAM dan Komnas Perempuan yang terletak di Jl. Latuharhary, Jakarta Pusat guna mengaduan perihal pelecehan yang telah dialami yang mana pada hari Selasa (19/8) korban bersama dengan Tim JPK2G juga telah melaporkan ke PGI perihal kasus tersebut.
Beberapa organisasi kemanusiaan dan masyarakat juga memberikan dukungan atas penuntasan kasus ini antara lain Jaringan Perempuan Korban Kekerasan di Gereja (JPK2G) Aliansi Sumut Bersatu, LETARE ( Kuasa Hukum ), Perkumpulan Peduli, Layar, Sahda Ahmo, Jemaat Antar Denominasi, Komunitas Masyarakat Damai, Kontras Medan, LBH APIK Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, Kalyanamitra, Kapal Perempuan, Jurnal Perempuan, Kartini Networking, Our Voice, Ardhanary Institute, LP2M-Padang, PerPuaTI.
Apa yang dialami oleh korban RES bukan tidak mungkin dialami oleh perempuan lain baik pendeta, pelayan gereja, istri pelayan gereja maupun jemaat biasa. Tapi karena takut dipersalahkan, dipermalukan bahkan diberi stigma negatif, banyak perempuan korban lebih banyak memilih diam bahkan tidak bersuara sama sekali. Para pelaku dan institusi gereja berlindung atas nama agama dan nama baik gereja, sementara korban dibiarkan berjatuhan didera rasa trauma, depresi, hilang percaya diri dan tidak mendapatkan keadilan.
Setelah menjalani proses yang cukup lama sekitar 1 tahun 2 bulan, hak korban atas kebenaran dan keadilan hingga kini belum terwujud. Hukum yang tidak berpihak kepada korban dan proses hukum yang sangat panjang dan ketiadaan alat bukti menjadi alasan para penegak hukum untuk tidak melakukan proses hukum lanjutan. Disisi lain, serangan balik dari pelaku terus dilakukan dengan membuat pengaduan pencemaran nama baik, menista serta perbuatan tidak menyenangkan. Korban yang menuntut keadilan dijadikan tersangka dan menimbulkan pertanyaan apakah hukum berpihak kepada perempuan korban kekerasan?
JARINGAN PEDULI PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DI GEREJA menyampaikan pernyataan sikap yang antara lain menyatakan: Agar Pimpinan HKBP berani mengambil tindakan dan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku agar perempuan korban tidak berjatuhan lagi dengan memperhatikan kepentingan korban, (2) mendesak Pimpinan HKBP membuat pernyataan maaf kepada korban atas perlakuan pelecehan yang dilakukan oleh oknum pendeta yang berada di bawah naungan Gereja HKBP melalui media lokal dan nasional selama 3 (tiga) hari berturut-turut, (3) Segera mempekerjakan korban kembali sebagai calon pendeta dengan memberikan penempatan baru serta membayar seluruh hak-hak korban yang tidak dibayar sejak bulan Mei 2007 hingga Agustus 2008, (4) meminta Kapolri untuk memerintahkan Poltabes Medan untuk segera menuntaskan proses hukum terhadap pengaduan korban RES tertanggal 06 Juni 2007 sesuai dengan Surat Tanda Bukti Lapor No.Pol : LP/2017/VI/2007/ TABES, (5) meminta Kejaksaan Agung menginstruksikan Kejari Medan agar segera menyatakan berkas pengaduan korban telah lengkap (P.21) dan segera melimpahkannya ke pengadilan.
Dampak yang ditimbulkan akibat pelecehan tersebut mengakibatkan korban mengalami trauma dan ketakutan, depresi serta tidak percaya diri. Disamping itu pihak keluarga korban juga ikut merasakan dampaknya yang mana mereka dihujat dan dikucilkan masyarakat sekitar terutama warga HKBP dan anak korban juga tidak mau lagi pergi ke gereja karena menganggap tidak ada gunanya. Selain itu korban dan keluarga korban serta para pendamping mendapatkan tekanan dan terror baik dalam bentuk telepon gelap dan teror fisik.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam penyelesaian kasus ini antara lain tidak adanya tindakan tegas dari pimpinan HKBP terhadap pelaku dan ada indikasi memberikan perlindungan dengan menutupi kasus ini. Serta aparat penegak hukum mulai dari kepolisian hingga kejaksaan yang tidak berpihak kepada korban dimana alat bukti yang digunakan harus ada saksi yang melihat kejadian. Sementara dalam kasus-kasus kekerasan seksual sudah pasti tidak ada saksi yang melihat. Ketidak berpihakan aparat penegak hukum tersebut dibuktikan dengan tidak adanya keseriusan untuk menuntaskan Laporan Pengaduan Korban dengan No. Pol : LP/2017/VI/2007.
Jumlah orang yang menderita karena kelaparan diproyeksikan akan mencapai jumlah tertinggi tahun ini ...