Kami merasakan gempa susulan untuk pertama kalinya malam ini. Rupanya ratusan guncangan kecil terus mengguncang Padang sejak gempa dua minggu lalu, tapi ini adalah gempa pertama yang benar-benar mengguncang kami yang berada di kantor pusat tanggap darurat World Vision. Saat itu kami membeku dan semua langsung berjalan keluar, hari panjang melintasi jalan-jalan yang penuh puing-puing berserakan adalah peringatan jelas tentang apa yang akan terjadi.
Saya sudah di sini selama satu hari penuh. Hanya 36 jam yang lalu saya masih di rumah di Melbourne dan 36 jam sebelumnya saya tak menyangka akan secepat ini berada di tengah-tengah zona bencana. 72 jam bukanlah waktu yang banyak untuk memperoleh perspektif, tapi saat dihadapkan dengan pemandangan seperti di pusat kota Padang dan daerah-daerah pedesaan di utara, seseorang akan cepat mendapat perspektif.
Dalam perjalanan dari bandara ke kantor World Vision, tampaknya bencana tidak berskala besar seperti antisipasi saya sebelumnya. Tidak lebih dari 20 atau 30 bangunan menunjukkan tanda-tanda retak, dan hanya sedikit bangunan roboh yang tidak dapat diperbaiki. Ini, saya akan segera ketahui nanti, hanyalah di Padang. Untuk setiap rumah yang benar-benar hancur, sering ada satu atau dua rumah identik di ujung jalan tanpa goresan. Rasanya tidak adil.
Ketika kami menuju Padang Pariaman - salah satu daerah yang paling parah - Saya berusaha mempersiapkan diri. Semua mengantisipasi pemandangan traumatis dari kehancuran massal. Akan tetapi, kenyataannya kurang dramatis, dan pada saat yang sama, lebih parah.
Padang Pariaman bukanlah daerah yang terbangun. Tidak ada bangunan bertingkat tinggi yang dapat roboh, tidak ada yang terperangkap selama berhari-hari. Padang Pariaman penuh dengan rumah-rumah kecil, dengan keluarga besar, banyak di antaranya tidak mendengar peringatan untuk keluar pada waktunya. Rumah demi rumah menjadi puing dan debu, dan di setiap rumah yang masih berdiri tersisa keluarga yang terlalu takut untuk kembali ke dalam karena takut gempa. Secara harfiah komunitas ini hancur dalam setiap arti kata, tapi, apa yang menyambut kami saat tiba dengan truk yang sarat dengan persediaan darurat? Bukan komunitas kalah yang mati-matian mencakar untuk mendapat bantuan yang sangat dibutuhkan tapi komunitas yang bersyukur dan energik yang lebih dulu mementingkan kebutuhan tetangga mereka, dengan menyusun daftar keluarga yang paling membutuhkan dan memastikan mereka menerima paket darurat pertama.
Namun perjalanan kami di Padang Pariaman tidak mempersiapkan saya untuk lokasi yang menunggu di Padang. Hotel Ambacang menjadi simbol kehancuran kota. Diperkirakan 200 orang masih di hotel ketika runtuh dan setidaknya 110 tubuh ditemukan. Lima hari kemudian dan setelah dua hari hujan besar, sulit menemukan korban selamat diantara reruntuhan tinggi logam dan bata. Pemandangan ini seperti keluar dari sebuah film bencana, dan benar-benar menyesakkan napas saya. Kekuatan gempa yang cukup kuat untuk merobohkan suatu struktur seperti Hotel Ambacang pastilah menakutkan.
Melalui gempa dan longsor berikutnya, saya melihat kekuatan alam secara harfiah mengubah lanskap perkotaan dan pedesaan Sumatra. Dan saya melihat bagaimana sumbangan kecil benar-benar memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kehidupan di belahan dunia lain. Uang dari dana siap siaga World Vision dan sumbangan untuk Gempa Indonesia menghasilkan selimut dan terpal, meminimalkan kehidupan yang hilang saat keluarga tunawisma menyambut hujan deras. Besok saya akan mengunjungi sebuah inisiatif World Vision lain yaitu Ruang Ramah Anak, sebuah inisiatif untuk anak-anak yang bertujuan untuk memulihkan harapan dan kegembiraan mereka setelah selamat dari bencana seperti ini.
Chris Oliver adalah seorang videografer World Vision dari Australia. Dia datang ke Indonesia untuk mendokumentasikan kehancuran yang disebabkan gempa bumi baru-baru ini di Padang. Sejak bencana ini, World Vision telah mendistribusikan selimut, makanan, air, terpal, alat-alat kebersihan dan lainnya untuk korban yang selamat dari gempa. Lembaga bantuan itu berharap dapat membantu sekitar 10.000 rumah tangga di Padang dan Padang Pariaman dan akan membuka 13 Ruang Ramah Anak di lingkungan-lingkungan ini.
Sekolah dari tingkat SD hingga SMA di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, diminta untuk melakukan penambahan jam belajar keagamaan dengan alasan pendidikan agama memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan akhlak dan budi pekerti siswa. ...