Ketua PGI: Penutupan Tempat Ibadah karena Penafsiran Salah Kaprah
"Jika memang Perber yang baru ini tetap menjadi sumber konflik diantara umat beragama di Indonesia, sebaiknya dicabut saja," ujarnya.
Wednesday, Apr. 26, 2006 Posted: 12:44:44PM PST
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt Dr AA Yewangoe menilai sekelompok anggota masyarakat di daerah telah salah kaprah menafsirkan Perber Menag dan Mendagri tentang pendirian rumah ibadah yang dijadikan alasan mereka untuk melakukan penutupan tempat ibadah. Padahal, seharusnya Perber melindungi orang untuk beribadah dan jika jadi alat kekerasan sekelompok orang untuk menghalangi orang beribadah maka harus dicabut.
"Kami PGI menegaskan dalam masa uji coba dan sosialisasi Perber beberapa waktu lalu kami bilang kalau Perber bisa menolong umat beragama untuk hidup berdampingan secara rukun maka Perber ini menjadi berkat menjadi bangsa Indonesia. Akan tetapi kalau dia makin mempersempit gerak anak-anak bangsa ini untuk melaksanakan ibadahnya, maka dia tidak memenuhi tujuan," ujarnya, Suara Pembaruan memberitakan.
Menurut dia, sekarang ini di sejumlah daerah memang terdengar ada sekelompok orang yang segera melakukan penutupan tempat ibadah dengan berdalih melanggar Perber. "Kami tengah mengumpulkan data dan informasi selengkap mungkin mengenai hal ini. Jika memang Perber yang baru ini tetap menjadi sumber konflik diantara umat beragama di Indonesia, sebaiknya dicabut saja," ujarnya.
Penutupan tiga tempat ibadah di Citereup dan Gunung Putri, Bogor, karena dituduh melanggar Perber dinilai karena pelaksanaannya tidak dilakukan secara adil.
"Harusnya objektif, kalau mau diterapkan pada satu agama, maka pada agama lainnya juga," kata Permadi, anggota Komisi I DPR dari F-PDIP, Senin (24/4).
Sedangkan Idrus Marham, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golkar (FPG), menyatakan perlunya mengedapankan nilai kerukunan dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari perspektif hukum, kata dia, pendirian tempat ibadah tetap harus mengikuti peraturan yang ditetapkan. "Bila tidak memenuhi persyaratan, tidak bisa. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan adalah dengan mengedepankan negosiasi," ucapnya.
Namun masyarakat tidak seharusnya melakukan eksekusi. "Prosedurnya yang benar, bila masyarakat mengetahui ada pelanggaran, dilaporkan pada yang berwenang, yang berhak menindak. Tapi bila prosedur tidak berjalan, baru masyarakat bertindak Bukan tempat ibadahnya yang ditutup, tapi aparatnya yang diprotes karena tidak melakukan tindakan. Bukan masyarakat mengeksekusi sendiri," katanya. Ada dua proses penanganan berbeda yang harus dilakukan, terhadap aksi penutupan tempat ibadah.
Sementara itu, Mendagri M Ma'ruf, Senin, mengaku belum mengetahui perihal penutupan tiga tempat ibadah itu.
"Saya belum dengar. Nanti saya akan cek dulu. Kita sudah jelaskan pada seluruh Sekwilda. Kita akan lihat, apakah pemahaman tentang peraturan bersama itu sudah sampai ke lapisan bawah atau belum. Karena dalam peraturan itu sudah jelas sekali, kalau ada kasus seperti itu ada mekanismenya, bisa dibicarakan, tidak harus langsung ditutup," kata Ma'ruf.(SP)
|