JAKARTA – Dalam memilih dan menentukan siapakah pemimpin yang terbaik yang akan memimpin bangsa Indonesia dalam kurun waktu lima tahun ke depan bukanlah sebuah pekerjaan semudah membalikkan telapak tangan, diperlukan pengamatan cermat dan merupakan pekerjaan rumah bersama yang berat bagi rakyat Indonesia, tidak terkecuali gereja.
Baru-baru ini tepatnya (4/7) Reformed Center for Religion and Society (RCRS) atau yang dikenal dengan Pusat Pengkajian Reformed bagi Agama dan Masyarakat menggelar seminar Politik bertema “Politik, Moral, dan Kepemimpinan Nasional” dengan menghadirkan Pdt. Benyamin F. Intan, Ph.D. sebagai pembicara.
Seminar ini merupakan salah satu cara gerja menjalankan kewajibannya untuk mendidik jemaatnya agar umat Kristen memberikan kontribusinya serta mampu melakukan pengawasan terhadap pemerintahan dimana gereja tetap tidak boleh berpolitik praktis dan buta dalam politik.
Dalam sambutan pembukaan seminar tersebut, Pdt. Stephen Tong yang adalah pendiri RCRS mengatakan agar umat Kristen harus mentaati apa yang kelihatan dan apa yang tidak kelihatan. Oleh karena itu, umat Kristen harus ikut terlibat dalam pembangunan bangsa dan ikut dalam memilih pemimpin bangsanya. Menurut Pdt. Tong, hal itu penting bagi bangsa yang besar seperti Indonesia ini, dimana kehadiran seorang pemimpin yang baik adalah mutlak. Jika tidak, maka akan ada banyak orang yang menderita di negeri yang memiliki penduduk yang banyak ini.
Ditegaskan pula oleh Pdt. Tong siapa pun nanti yang terpilih menjadi presiden pada pilpres 2009 kiranya menjadi pasangan yang berani memberikan dedikasinya untuk bangsa demi kesejahteraan seluruh masyarkat Indonesia, pemimpin yang menjalankan politik moral dalam kepemimpinan nasional bagi kesejahteraan bangsa.
Pdt. Benyamin F. Intan, Ph.D. dalam pemaparannya menyampaikan bahwa umat Kristen harus berusaha mengerti tentang Politik, Moral, dan Kepemimpinan nasional yang berdasarkan Alkitab, meski diakuinya hal itu bukanlah sesuatu yang mudah. Namun setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan yakni, normatif (principles), situasional (problem), dan eksistensial (person).
Dijelaskan pula bahwa politik kekuasaan sesungguhnya tidaklah jahat, namun politik kekuasaan juga tidak netral. Allah merancang politik kekuasaan untuk memuliakan Tuhan, oleh karena itu politik kekuasaan bersifat sakral, kudus, dan bertujuan untuk memuliakan nama Tuhan. Karena itu, kehadiran orang Kristen dalam politik kekuasaan harus menghadirkan Allah, dan bukannya menjadikan politik kekuasaan sebagai Allah, karena politik kekuasaan bukan Allah.
Dalam Alkitab juga digambarkan bagaimana Tuhan juga dapat memakai politik kekuasaan untuk memuliakan nama Tuhan. Seperti dalam kisah Yusuf yang memegang jabatan kekuasaan, Tuhan memakai politik kekuasaan untuk menyelamatkan umat-Nya.
Pdt. Benyamin Intan juga mengingatkan kepada umat Kristen untuk berhati-hati terhadap jebakan agamaisasi politik dan politisasi agama ketika berkiprah dalam poklitik, sebagaimana apa yang dialami oleh kekristenan pada masa Konstantinus, dimana pemimpin agama melakukan agamaisasi politik dan disambut oleh Konstantinus yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik (politisasi agama).
Secara tegas, ia juga mengingatkan konstitusi agama untuk tidak terlibat dalam politik praktis. Pemimpin gereja bisa bersentuhan dengan politik melalui politik moral yang mana didasarkan pada Roma 13: 1-7, dimana takut akan Tuhan, suatu ketaatan orang Kristen pada Tuhan.
Mengenai hal-hal yang bersifat situasional, Benyamin Intan juga memaparkan mengenai kekuatan dan kelemahan para pasangan capres-cawapres yang dianggap penting untuk dapat membantu umat Kristen dalam menentukan pilihannya tentang pemimpin yang bagaimanakah yang diharapkan.
Disebutkan pula 6 kiteria yang harus dimiliki pemerintah yang baik yang didasarkan pada Roma 13:1-7 yakni: pemerintah harus memiliki rasa takut terhadap Tuhan, dapat dipercaya, menjunjung tinggi keadilan, mempunyai keberanian, memiliki jiwa berkorban, dan mempunyai jiwa melayani.
Berikut adalah uraian mengenai kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh ketiga pasangn capres-cawapres: Pasangan Mega-Prabowo diibaratkan oleh Yudi Latif seperti “botol” dan “pembuka botol” dimana untuk dapat melihat isi yang berharga dalam botol tersebut diperlukan pembuka botol. Keunggulan pasangan ini antara lain: berpegang pada konstitusional dan NKRI, mengutamakan moralitas keadilan, ekonomi kerakyatan, kemandirian bangsa, pertumbuhan ekonomi 10 persen, dan merupakan pasangan yang banyak membuat kontrak politik.
Kelemahan yang dimiliki pasangan Mega-Prabowo antara lain: pada era Mega lalu tidak membawa banyak perubahan, kurangnya komunikasi politik, sinyalir KKN cukup kuat, track record pelanggaran HAM Prabowo, kekuatiran mengenai adanya “dendam politik Prabowo?.”
Sedangkan pasangan SBY-Budiono yang diibaratkan seperti “anggur” dan “botol” memiliki beberapa keunggulan diantaranya: mengutamakan moralitas kebersihan (membasmi korupsi), kapabilitas, kerdibilitas, akseptibilitas yang cukup tinggi, statusnya sebagai incumbent, klaimnya terhadap keberhasilan di bidang pemberantasan korupsi, ekonomi dan swasembada beras meningkat serta pertumbuhan ekonomi 7 persen realistis, pendidikan gratis dan penetapan anggaran bagi pendidikan sebesar 20 persen, citra keluarga bahagia di mata masyarakat, kompak.
Sedangkan kelemahan pasangan SBY-Budiono antara lain: pada era SBY paling banyak menelurkan UU dan Perda diskriminatif, maraknya penutupan rumah ibadah, sebanyak 20 juta orang kehilangan hak suaranya di DPT, kekuatiran mengenai cengkeraman partai agama yang masih dipertanyakan, isu neoliberalisme, cacat representasi Jawa-luar Jawa, stagnan, dan lamban, terbeban utang luar negeri akibat BLT yang dipertanyakan sumbernya.
Untuk pasangan Jusuf Kala- Wiranto diumpamakan seperti “botol” dan “tutupnya” memiliki keunggulan antara lain: JK dianggap sebagai sosok pemimpin paling visoner dibanding calon lainnya, menekankan pada moralitas pelayanan terkait dengan kecepatannya dalam bertindak dan memutuskan, inspiratif dan lugas, merupakan pasangan nusantara yang berasal dari suku berbeda, kompak, dan menargetkan pertumbuhan ekonomo 8 persen.
Kelemahan pasangan ini yakni: kasus HAM Wiranto yang masih membayangi terkait tragedi Mei 1998, Timor-Timor dan lemahnya pengakuan dunia internasional terhadapnya, adanya “image” seorang saudagar atau pedagang yang biasanya suka tabrak aturan birokrasi dari sisi JK, beban politik internal dalam partai dimana mereka berasal dari partai yang sama, isu mengenai penolakan kemajemukan yang dipertanyakan banyak pihak, budaya dimana masyarakat Indonesia yang mayoritas berasal dari pulau Jawa masih belum bisa menerima persiden non-Jawa.
Meskipun masing-masing pasangan calon memiliki kelemahan, Benyamin Intan meminta agar umat Kristen tidak golput dan ikut serta melakukan tanggungjawabnya sebagai rakyat Indonesia dalam menentukan pemimpin bangsa ini.
Dalam akhir pemaparannya Benyamin Intan mengatakan bahwa presiden yang terpilih nanti bisa jadi bukanlah yang terbaik atau pasti yang terbaik tetapi bisa jadi yang terpilih bukanlah yang terbaik. Hal ini disebabkan oleh adanya gap antara apa yang Allah inginkan (God’s perceptive will) dan apa yang Allah tetapkan (God’s decretive will). Dalam artian bahwa presiden yang terpilih nantinya bisa saja Allah yang menetapkan, memimpin, mengijinkan, tetapi yang paling penting kita berharap agar jangan Allah membiarkan,” tukasnya.
JAKARTA - Menjelang semakin dekatnya pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) RI 2009,Persekutuan ...