(Kristiani Pos)
Jakarta - Telah seperempat abad lamanya sejak Indonesia melalui Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on The Elimination of Discrimination Against Women/ CEDAW) tepatnya pada 24 Juli 1984. Namun, dalam implementasinya Indonesia justru meloloskan UU Pornografi yang dinilai telah melanggar Konvensi CEDAW.
Undang-Undang Pornografi disahkan pada 30 November 2008 dan sebulan setelahnya tepatnya 26 November 2008 Presiden SBY menandatangani lembaran negara sebagai proses akhir pengesahan UU Pornografi tersebut.
Dalam rangka memperingati 25 tahun RATIFIKASI CEDAW, jaringan masyarakat sipil Indonesia yang terhimpun dari berbagai elemen (ANBTI, LBH APIK, Solidaritas Perempuan, YLBHI, KPI, PGI, KWI, PKWJ UI, PKW- PPS UI, ELSAM, SCN, dll) yang selama ini menolak UU Pornografi mengajak masyarkat merefleksikan kembali pelanggaran terhadap CEDAW dengan disahkannya UU Pornografi dengan mengadakan Diskusi Publik: “Perayaan Seperempat Abad Konvensi CEDAW: Kepentingan Krusial Peninjauan Ulang Undang-Undang Pornografi”, Rabu (5/8) bertempat di Kampus UI Salemba, Jakarta.
Acara Diskusi Publik terbagi menjadi dua sesi diskusi menghadirkan nara sumber antara lain: Prof. Soetandyo W, MPA, Prof. Dr. Benny H. Hoed (Guru Besar Fak. Ilmu Budaya UI), Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A. (Ketua Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia), Sri Nurherawati, S.H. (LBH APIK), Enny Soeprapto, PhD., Seno (Perwakilan Media).
Undang-Undang Pornografi dalam ranah perundang-undangan justru menimbulakan masalah dimana Undang-Undang merupakan aturan yang berlaku untuk seluruh Indonesia yang notabene memiliki kebhinnekaan budaya, pluralitas budaya. Mendefinisikan pornografi merupakan hal yang mudah, namun dalam penerapan pengertian pornografi ke dalam ranah kebudayaan melalui undang-undang menimbulkan masalah relativitas budaya dan relativitas penafsiran, “jelas Prof. Benny Hoed.
Soetandyo Wignjosoebroto dalam paparannya menyatakan bahwa memaksakan keseragaman nilai, norma ataupun konsep berdasarkan kekuatan undang-undang dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratik dan memiliki kebudayaan yang majemuk, dengan mekanisme kontrol yang sentral hanya akan melahirkan beragam kontroversi saja.
Makin besar kontrovesri yang terjadi dalam proses pembentukan undang-undang, akan makin besar kemungkinan terjadinya konflik sosial dan dapat menyebabkan terjadinya civil disobedience oleh sebagaian warga masyarakat yang mana justru berdampak pada ketidakefektifan undang-undang tersebut.
Hal lainnya diungkapkan Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A. dalam tulisannya mengutip ucapan Martin Luther King: “Morality cannot be legislated but behavior can be regulated”. Kalau moralitas diatur berarti agama sudah impoten (tidak mampu lagi).
Menurutnya, pemerintah dan para legislator dengan membuat UU Pornografi telah secara gamblang memperlihatkan sikap bahwa agama didegradasi sekedar ritual dan tidak lagi berfungsi sebagaimana seharusnya atau dengan kata lain agama telah diimpotenkan. Untuk itu Mahkamah Konstitusi harus membatalkan secara keseluruhan UU Pornografi dan Pornoaksi tersebut,” Tegasnya.
Satu-satunya pembicara wanita dalam diskusi tersebut, yakni Sri Nurherawati, S.H.( LBH APIK) secara tegas mengatakan bahwa UU nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi tidak memiliki landasan filosofis, Yuridis, dan Sosiologis. Yang mana secara filosofis, Indonesia memiliki Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan dan prinsip bersama.
Selain itu, UU Pornografi secara yuridis juga bertentangan dengan pasal 3 konvensi CEDAW, UUD 1945, UU nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 11 Tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi Hak Ekosob, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi hak sipil politik.
Dalam pernyataannya, Gerakan Masyarakat Sipil untuk HAM dan keadilan perempuan menegaskan dukungannya untuk dilakukan peninjaun kembali terhadap UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi melalui tiga tuntutan: pertama, mencantumkan secara eksplisit prinsip non-diskriminasi terhadap perempuan dalam konstitusi negara, UU, dan PUU terutama dalam pengaturan pornografi.
Kedua, meminta agar mengintegrasikan konvensi CEDAW dan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya dalam pengaturan pornografi. Serta ketiga, melakukan Pencabutan UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi karena bertentangan dengan prinsip-prinsip CEDAW, HAM, serta perangkat hukum yang lebih tinggi (konstitusi).
UU Pornografi ini juga dinilai tidak menyentuh pada inti persoalannya yakni pornografi, tetapi justru mendiskriminasikan perempuan dengan menjadikannya sebagai obyek dan lebih mengutamakan masalah “moralitas” masyarakat daripada melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan seksual dan traffiking.
Pada bulan Mei, 2009 lalu Gerakan Masyarakat Sipil untuk HAM dan keadilan perempuan telah mengajukan Judicial Review terhadap No. 44 Tahun 2008 tentang UU Pornografi ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan telah menjalani persidangan tahap 1 yang kemudian persidangan berikutnya akan dilanjutkan pasca gugatan pilpres dengan agenda mendengarkan pernyataan para ahli, menurut keterangan Sri Nurherawati, S.H.
Para ulama di Aceh minta pemerintah menutup warung kopi berlabel khusus untuk warga non-muslim karena dinilai dapat merusak suasana Puasa. ...