KUALA LUMPUR (APEN) – Peserta lokakarya teologi Asia Tenggara Konferensi Kristen Asia (CCA) menggarisbawahi geopolitik, migrasi, masyarakat adat, keadilan ekologis dan perubahan iklim berkaitan dengan tema "Dipanggil untuk bernubuat, mendamaikan dan menyembuhkan" adalah sebagian isu yang membutuhkan perhatian lebih gereja-gereja Asia.
Lokakarya yang berlangsung 16-20 Agustus, dihadiri para peserta dari Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand dan India, adalah pertemuan kedua dalam rangkaian empat lokakarya yang diselenggarakan program Iman, Misi dan Persatuan (FMU) dari CCA. Tema sidang umum yang akan datang adalah "Dipanggil untuk bernubuat, mendamaikan dan menyembuhkan."
Pendeta Sungkook Park, sekretaris eksekutif FMU menyatakan harapan bahwa diskusi pada tema akan membantu membentuk kehidupan dan karya CCA kedepannya.
Diskusi dan makalah yang disajikan pada empat lokakarya akan disusun, disunting dan dicetak sebagai buku yang ia harap akan membantu mereka yang melayani di tengah masyarakat dan para pendeta di tingkat lokal, kata Dr Park.
Dia menemukan saat terjadi bencana alam atau keadaan darurat, banyak pendeta setempat bingung menanggapi situasi tersebut melalui khotbah atau cara lain, dan ia berharap materi teologi dalam buku tersebut dapat sangat berguna.
Menurut Dr Park, lokakarya ini juga akan mengidentifikasi para teolog dan pendeta teologis untuk membentuk komite yang akan menangani isu-isu teologis dari CCA. Komite-komite juga akan berfungsi sebagai tim menanggapi isu-isu teologis yang muncul di wilayah ini.
Saat menyampaikan sambutannya, Pendeta Rienzie Perera, wakil sekretaris untuk keuangan dan hubungan dari CCA mendesak umat Kristiani di Asia mempunyai solidaritas dengan umat beragama lain sehingga tercapai rekonsiliasi dan penyembuhan. Dan ini membutuhkan "kerendahan hati dan pikiran Kristus," katanya.
Umat Kristiani di Asia harus menunjukkan kesediaan untuk "dibaptis di sungai religiusitas Asia", yaitu pengosongan diri, kenabian, rekonsiliasi, pengampunan dan penyembuhan. Inilah perubahan paradigma misi yang dibutuhkan jika gereja mau relevan di tengah lingkungan kontemporer, katanya.
"Rekonsiliasi, pengampunan dan penyembuhan adalah istilah yang "paling sering disalahgunakan oleh para pemimpin gereja, politisi, pemimpin masyarakat madani dan pembela hak asasi manusia," dan kita harus "membebaskan mereka dari pialang kekuasaan dan pemimpin spiritual palsu," katanya
Dr Perera berkata rekonsiliasi bukan hanya pemahaman individualistik namun menyiratkan sebuah pemahaman holistik yang melibatkan seluruh ciptaan, yang sudah dikalahkan oleh kekerasan, balas dendam dan kebencian.
Rekonsiliasi adalah proses di mana kita mencoba untuk menebus dunia dari hasrat balas dendam dan memberikan ruang bagi kehidupan baru, dan menciptakan masyarakat yang inklusif di mana orang dapat menghormati sama lain, kata Perera.
Dia menekankan bahwa rekonsiliasi dalam pengertian holistik itu mahal dan tidak mudah dicapai jika terpisah dari keadilan, kebenaran, cinta kepada musuh dan pengampunan.
Sementara itu Bapa Rex Reyes, sekjen Dewan Nasional Gereja-gereja di Filipina, yang berasal dari sebuah masyarakat adat di Filipina utara, mengatakan bahwa akar kekerasan dan penipuan harus diatasi sebelum masuk ke dalam rekonsiliasi, pengampunan dan penyembuhan.
Mengutip satu contoh, ia berkata bahwa kekerasan di negaranya dikarenakan kemiskinan yang merajalela, korupsi, tidak adanya reformasi agraria sejati, kedaulatan nasionalis, industrialisasi nasionalis, penyangkalan utang dan sebagainya.
Menanggapi tema sidang, Pendeta Hermen Shastri, sekjen Dewan Gereja-gereja di Malaysia (CCM) mengatakan bahwa bernubuat adalah "melepas topeng kekuasaan", melawan ketidakadilan dan korupsi di masyarakat.
Dia mengatakan bahwa gereja di Asia Tenggara yang multi ras harus terus-menerus mencari jalan rekonsiliasi dan bersedia untuk membangun jembatan di antara komunitas yang berbeda.
Dr MP Yusuf, pengajar di Seminari Teologi Tainan di Taiwan mengatakan bahwa Oikumene dapat digunakan untuk dominasi dan pembebasan.
Oikumene dari dominasi adalah prinsip balasan ke bumi, yang merupakan ciptaan Tuhan, katanya dan mencatat fungsi politik dari dominasi Oikumene adalah untuk mempertahankan status quo.
Menurut Yusuf, Konferensi Kristen Asia Timur, yang kemudian menjadi CCA, dibentuk sebagai "iringan" dari semangat Bandung, namun kemudian menyerap "struktur imperialistis" Dewan Gereja-gereja Dunia, yang merupakan warisan dari "gerakan misionaris imperialistis," katanya.
Dia mendesak gereja-gereja di Asia untuk mengatur isu-isu dan agenda yang berbeda di wilayah dan tidak menyerahkan kepada lembaga-lembaga luar seperti WCC.
Dan Dr Mindawati Perangin Angin dari Gereja Protestan Batak Karo di Indonesia mengatakan bahwa "penyembuhan dan rekonsiliasi saling terkait dan tidak dapat dipisahkan."
Sebagai proposal untuk paradigma teologi CCA lima tahun mendatang, Anthony Row dari Gereja Methodis Malaysia dan anggota Komite umum CCA mengusulkan kedepannya disediakan lebih banyak ruang untuk berbagi kisah perjuangan orang-orang di daerah.
Dr Hermen Shastri merasa patut diputarkan pesan video dari pemimpin Burma dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung Saan Suu Kyi pada sidang umum CCA ke-13 yang akan diadakan di Malaysia pada April 2010 mendatang.
CCA yang kini berbasis di Chiang Mai, adalah gerekan ekumenikal Asia tertua yang terdiri dari hampir 100 gereja Protestan dan rtodoks, dan 19 dewan nasional gereja-gereja di Selandia Baru, Australia, Bangladesh, Kamboja, Hong Kong, India, Indonesia, Laos, Jepang, Korea, Malaysia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Taiwan, Thailand dan Timor Leste.
Salah satu cita-cita CCA adalah mempromosikan dan menguatkan kesatuan gereja-gereja di Asia, dan mengembangkan hubungan dengan pemeluk agama lain di wilayah ini.
Asia Pacific Ecumenical News
Komite Pusat Dewan Gereja-gereja se-Dunia sepakat mengadakan Sidang Umum di Busan, Korea Selatan, pada tahun 2013. ...