Para Tokoh: Pluralisme Tidak Bisa Ditolak
Peringatan 60 tahun Indonesia Merdeka "Menyelamatkan Komitmen Nasional" digelar di Jakarta
Friday, Aug. 19, 2005 Posted: 9:14:53AM PST
Pluralisme atau keberagaman dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia adalah sebuah realita yang tidak bisa ditolak. Karena itu, para pemimpin dan elite bahkan semua elemen bangsa harus mengintrospeksi diri dan menyadari pluralisme dalam semangat persatuan, agar bisa membangun bangsa bersama-sama.
Hal itu dikemukakan dalam acara peringatan 60 tahun Indonesia Merdeka bertajuk "Menyelamatkan Komitmen Nasional", di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, Senin (15/8) malam, seperti yang diberitakan Suara Pembaruan.
Acara itu dihadiri mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan sejumlah tokoh: Jenderal (Purn) Wiranto; Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin; Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi; Rohaniwan Katolik Romo Mudji Sutrisno SJ; Wakil Ketua DPD Sarwono Kusumaatmadja, politisi Arifin Panigoro; Pramono Anung; Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie; praktisi hukum Todung Mulya Lubis; pengusaha Sofyan Wanandi; Ketua Walubi, Hartati Murdaya; politisi, Soetrisno Bachir; tokoh pers, Jacob Oetama, dan pengamat ekonomi Faisal Basri.
Cak Nur yang tidak dapat hadir karena sakit, memberikan sambutan tentang perlunya menyelamatkan komitmen nasional melalui rekaman yang telah disiapkan empat hari sebelumnya.
Menurut Cak Nur, keadilan mengandung makna kesamaan antar manusia, tidak ada perbedaan di antara warga negara berdasarkan alasan apa pun juga. "Nondiskriminasi adalah persyaratan bagi adanya keadilan," tegas Cak Nur.
Keadilan memerlukan sikap egaliterisme yang memandang semua orang sama. Semua potensinya sama dan harus dikembangkan sikap saling percaya antara para anggota masyarakat, Cak Nur melanjutkan.
Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang terbuka, toleran, yang tidak mengizinkan adanya pemaksaan pendapat kepada kelompok yang lain. Sebab, demokrasi adalah masyarakat yang terbuka, yang intinya ialah kebebasan untuk menyatakan pendapat baik pada level pribadi maupun institusional.
Dikatakan, masyarakat yang adil serta terbuka dan demokratis adalah masyarakat yang egalitarisme. Karena itu, mengandung makna bahwa masyarakat itu toleran satu sama lain dan mengandung semangat pluralisme, bahwa perbedaan diakui sebagai sesuatu yang positif dan modal bersama dalam masyarakat.
Gus Dur yang menyampaikan refleksi singkat mengenai peringatan 60 tahun Indonesia Merdeka, juga menekankan pentingnya pluralisme.
Menurut Gus Dur, kemerdekaan tidak bisa dilepas dari makna keterbukaan dan pluralisme dalam hidup berbangsa.
Gus Dur juga mengingatkan tentang perlunya orang-orang yang mau memikirkan kelanjutan bangsa. "Jika orang dimaksud tidak ada, kita akan berhenti sebagai bangsa," katanya.
Berbangsa, menurut Gus Dur, bukan sekadar menjadi kumpulan individual yang tidak merasa sebagai bangsa.
"Saat ini banyak di antara kita yang merasa dirinya, kelompoknya, dan bacaannya yang paling hebat, tetapi lupa sebagai bangsa."
Sandra Pasaribu
|