Buku apa yang sekarang laris di toko buku? Yang pasti bukan buku politik. Pembeli buku lebih banyak berkerumun di sekitar rak buku yang menghibur diri, mulai dari buku agama hingga buku bacaan ringan.
"Kita semua ingin lari dari kenyataan yang mengecewakan. Itu yang bisa kita lihat dari rak buku mana yang banyak pengunjungnya di toko buku," kata Frans Parera, Pemimpin Redaksi Matabaca, majalah yang mengupas masalah perbukuan, Kompas memberitakan.
Popularitas buku-buku politik yang sempat laris manis di era 1998 merosot dalam waktu sewindu. Sebuah cermin masyarakat yang kecewa pada kondisi politik dan ekonomi negara. "Dulu, kita dihibur bahwa akan ada perubahan. Eh, ternyata enggak ada. Daripada lihat politisi yang penuh kepalsuan, mending lihat artis. Mungkin sama-sama konyolnya, tapi kan lebih indah," tambah Frans Parera.
Pentas politik yang menjanjikan perubahan ternyata mengecewakan, tetapi panggung harus tetap terisi. Televisi pun mencari pusat-pusat atraksi yang baru dan bisa membuat kita tersenyum. Penonton butuh yang cantik-cantik untuk menghibur hati yang lara dari keseharian.
Isi televisi ini pun kemudian memengaruhi media cetak, termasuk buku. Buku pun berbondong-bondong menjadi sarana hiburan dan pelarian dari kerumitan yang ada. "Kita semua mencari ketenteraman dari berbagai sumber yang lain," kata Frans.
Sebuah eskapisme atau pelarian inilah yang tercermin dari suasana di berbagai toko buku di Indonesia. Semua orang mencari jalan untuk lari dan keluar dari permasalahan yang menjepit kehidupan. Selain kebutuhan akan sosok-sosok indah yang menghibur, sebuah penelitian di jaringan toko buku terbesar di Indonesia menemukan bahwa buku agama dan buku anak-anak yang akhir-akhir ini paling laris. Angkanya kira-kira mencapai 30 persen dari total penjualan buku.
Budi S Tanuwibowo, pencinta buku yang juga Pemimpin Proyek Ensiklopedia Nasional Indonesia, menambahkan, selain buku-buku agama, buku-buku petunjuk praktis dan buku ketenangan jiwa, seperti Chicken Soup, atau buku cepat kaya seperti buku-buku Robert Kiyosaki, juga laris.
"Pembeli enggak mau yang rumit-rumit, tidak ada waktu lagi untuk merenung, makanya untuk bisnis yang laku itu sama dengan agama, yaitu buku yang praktis-praktis saja," katanya.
"Pembaca enggak butuh cerita yang klise atau cerita perjuangan dia atau soal kawin-cerai, itu sudah ada di tabloid," kata Budi. Pembaca juga sudah bosan dengan janji-janji kosong para politisi, kisah klise sukses, dan butuh sesuatu yang jujur dan orisinal. "Apakah dia kesepian setelah semua pencapaian itu, apakah dia takut akan gambaran dosa," kata Frans.
Kalau buku-buku selebriti itu bisa menembus hegemoni pemikiran yang saat ini dilakukan para produsen citra, justru dari merekalah kita bisa berharap adanya terobosan baru setelah selama ini para politikus dan ekonom terbukti masih tertatih-tatih memenuhi janjinya.
Dan kalau mereka gagal keluar dari hegemoni citra yang gemerlap itu dan gagal mendefinisikan dirinya? "Ya, jangan-jangan inilah hakikat masyarakat sekarang," kata Frans.
Ya, jangan-jangan, inilah masyarakat kita, di mana buku latihan soal untuk ujian masuk perguruan tinggi lebih laku daripada buku fisika dan mate- matika, buku tips cara masuk surga lebih laku dari kitab suci, atau buku cepat menjadi kaya yang menjadi bestseller di mana-mana. (Kompas)
Hampir 30 tahun setelah debut "Jesus Film", ministri yang film buatannya paling banyak diterjemahkan dalam sejarah tersebut berupaya untuk mengembangkan alat yang lebih canggih lagi untuk ...