Sulawesi Selatan bebarapa kali menetapkan kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk tiap kali ada anak balita gizi buruk meninggal. Namun, kali ini setelah meninggalnya Dea Adelia sabtu, 1 November 2008, sulsel belum menetapkan KLB gizi buruk. Sebelumnya, dua balita Aco (4) dan Erna, bayi berusia tujuh bulan meninggal dunia di RS Haji Makasar akibat gizi buruk. Belum ditetapkannya KLB ini mungkin karena selama Januari-Oktober 2008 kasus gizi buruk hanya sedikit, yakni 94 kasus.
Namun, menurut Kepala seksi Gizi Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulawesi selatan 72.000 dari 800 ribu anak Balita di Sulawesi Selatan mengalami gizi buruk, selain itu ada 272 000 anak kurang gizi, data ini semestinya cukup untuk menetapkan KLB gizi buruk di Sulsel, ini adalah potret kemiskinan yang amat memprihatinkan, dan dampaknya pasti akan berlangsung lama, karena anak-anak dengan gizi buruk berkepanjangan tentu saja tak mampu memiliki kompetensi yang tinggi meski dididik dengab baik, apalagi dengan kondisi pendidikan yang masih memprihatinkan seperti saat ini, khususnya di Bagian Timur Indonesia.
Kemiskinan bukan hanya menjadi momok bagi masyarakat Sulawesi Selatan, tapi juga pada banyak daerah lain. Bahkan, di Bekasi yang menyatu dengan kota Metropolitan pun, balita yang mengalami gizi buruk terus bertambah, tahun 2007 terdapat 735 anak balita menderita gizi buruk, tahun 2008 bertambah menjadi 827 anak.
Formula ampuh untuk mengurangi kemiskinan sebenarnya telah dipahami masyarakat luas, karena formula untuk mengurangi angka kemiskinan dari jaman ke jaman tidak pernah berubah, yaitu meningkatkan kompetensi manusia (memerangi kebodohan) dan membelenggu kerakusan manusia (menumpas kejahatan dan ketidak adilan), meski tiap jaman tentunya memiliki kompleksitas masing-masing.
Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah, apakah kita memang serius berjuang untuk mengurangi jumlah penduduk miskin yang kini sedang menderita itu? Karena perjuangan itu menuntut kerjasama semua umat manusia, pemerintah dan masyarakat.
Memerangi Kebodohan
Abraham Kuyper, seorang Perdana Menteri Belanda, yang terkenal dengan politik etisnya, yang menguntungkan Indonesia pada masa Penjajahan Belanda, mengatakan, “tugas untuk memelihara dan mengusahakan bumi memerlukan pengetahuan. Untuk menyingkapkan potensi yang terkandung di dalam alam, atau mengarahkan kekayaan liar yang ada di dalam alam, manusia memerlukan kepandaian.” Tanpa pengetahuan yang memadai, alam tak akan dapat memenuhi kebutuhan manusia, apalagi ketika manusia secara ganas telah merusak alam yang adalah sumber kehidupannya itu.
Melalui pengetahuan dan kepandaian itulah banyak Negara yang miskin sumber alamnya, seperti Korea Selatan misalnya, Jepang dan khususnya negara-negara Barat, telah berhasil memajukan negeri mereka. Kemampuan mengolah alam dengan menggunakan tekhnologi menjadikan negara maju bukan saja dapat memaksimalkan hasil alam mereka, tapi juga telah memberikan mereka kemampuan untuk mengolah hasil alam dari negara-negara yang melimpah sumber alamnya, namun gagap dalam teknologi.
Kebodohan membuat manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengolah alam, dan tentu saja tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya melalui alam. Demikian juga kegagapan terhadap teknologi telah membuat negara-negara dengan sumber alam melimpah tidak berhasil memanfaatkan sumber alamnya, sebaliknya negara-negara dengan sumber alam yang minim, namun memiliki tenaga-tenaga yang akrab dengan teknologi telah mampu menarik manfaat dari kelimpahan sumber alam yang dimiliki oleh negara-negara lain, khususnya dari negara-negara miskin dengan kualitas kompetensi tenaga kerjanya yang lemah.
Banyak rakyat Indonesia terus hidup dalam kemiskinan bukan karena mereka malas, tetapi karena memiliki kompetensi yang rendah, tak terdidik dan hidup kurang gizi. Malangnya, keseriusan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini guna memerangi kebodohan masih terbilang minim, itu terlihat dari perdebatan alot mengenai anggaran pendidikan yang juga terkait dengan peningkatan kualitas guru, apalagi hingga saat ini untuk mendapatkan pendidikan yang berkulitas orang tau harus membayar mahal, dan keluarga miskin tidak mungkin melakukannya, kebutuhan makanan telah menggeser kebuuthan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Melawan ketidakadilan
Kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh kebodohan manusia, tetapi juga oleh ketidakadilan. Mengenai hal ini, penulis kitab Pengkhotbah menjelaskan, “Lagi aku melihat segala penindasan yang terjadi dibawah matahari, dan lihatlah air mata orang-orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena di pihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan” ( Pengkhotbah 4:1)
Secara harfiah memang manusia bukan serigala atas sesamanya, manusia tidak saling memakan sesamanya, karena hanya mereka yang kurang waras saja yang bisa lahap memakan daging sesamanya. Tetapi dalam masyarakat yang tidak menghargai keadilan, manusia yang kuat selalu saja memanfaatkan manusia yang lemah, sedang yang lemah tak mampu menghindarinya, Ini adalah kejahatan, seperti layaknya manusia yang memakan sesamanya.
Ketidakadilan, penindasan terhadap orang miskin, atau yang menyebabkan kemiskinan adalah salah satu persoalan serius yang menyebabkan kemiskinan terus bertambah, khususnya kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa dan pengusaha, lebih parah lagi jika kejahatan itu dilakukan dalam perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. Penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, suap, merupakan persoalan serius yang membuat penduduk miskin terus bertambah.
Penebangan hutan secara liar biasanya dilakukan melalui kerjasama antara pengusaha dan penguasa, pembabatan hutan secara semena-mena telah membuat rakyat miskin dengan pendidikannya yang rendah tidak lagi mampu mencukupi kebutuhannya melalui hasil hutan, belum lagi dengan adanya ancaman banjir yang makin memiskinkan mereka. Manusia yang kuat membengkokkan hukum dan undang-undang untuk melampiaskan kerakusannya, itu adalah kejahatan yang memiskinkan manusia. Kejahatan itu juga terlihat pada pengelolaan sumber daya alam yang tak membuat rakyat disekitarnya mengalami peningkatan taraf hidup, demikian juga dengan kecurangan dalam persaingan usaha, penyimpangan pemberian kredit usaha dll.
Jika kemiskinan terus menjadi persoalan bagi negeri ini, itu bukan berarti Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari belenggu kemiskinan, tetapi lebih disebabkan pemerintah dan kita kurang konsisten untuk berjuang melawan kemiskinan. Pemerintah memang wajib bekerja keras untuk melawan kemiskinan, namun perjuangan melawan kemiskinan semestinya tidak hanya menunggu niat baik pemerintah, melainkan harus dimulai dari setiap pribadi di negeri ini.
Berjuang untuk menjadi cerdas dan mencerdaskan bangsa ini untuk memiliki kemampuan mengelola alam Indonesia yang subur serta bertindak adil terhadap sesama, adalah formula ampuh untuk melawan kemiskinan yang mesti kita kerjakan dan bukan untuk sekedar didengungkan apalagi hanya menjadi komoditas partai-partai politik.
Pdt. Binsar A. Hutabarat, S.Th., M.C.S.
Penulis adalah salah seorang peneliti pada Reformed Center for Religion and Society
Pemimpin Persekutuan Injili Asia (AEA) Selasa kemarin menyambut baik keputusan yang diambil...