Hot Topics » Pakistan Swat valley Sri Lanka conflict Abortion Barack Obama India Lausanne Movement

DPR Segera Sahkan RUU Jaminan Produk Halal

Maria F.
Reporter Kristiani Pos

Posted: Aug. 10, 2009 11:05:37 WIB

Jakarta – Keberhasilan RUU Pornografi disahkan menjadi Undang-Undang Pornografi nampaknya menjadi pembuka jalan bagi lahirnya produk-produk bernuansa syariah lainnya di Indonesia. Hal ini terbukti dengan disusunnya Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang saat ini sedang dalam proses penggodokan oleh Komisi VIII DPR RI.

Menurut rencana RUU Jaminan Produk Halal tersebut akan disahkan pada masa persidangan akhir DPR RI periode 2004-2009 ini, atau sekitar minggu ketiga Agustus, 2009.

RUU Jaminan Produk Halal (RUU JPH) oleh beberapa kalangan dinilai telah cacat hukum karena dalam proses pembahasan RUU tersebut oleh Komisi VIII DPR RI tidak transparan dan tidak melibatkan semua pihak secara maksimal.

Untuk itu, Jaringan Indonesia Raya (JIRA) bersama dengan beberapa organisasi lainnya sepakat untuk melakukan upaya advokasi guna mencegah disahkannya RUU Jaminan Produk Halal (RUU JPH) tersebut menjadi Undang-Undang.

Dalam upaya mensosialisasikan dan mengkonsolidasikan persoalan RUU JPH ini, JIRA melakukan inisiasi dengan berbagai kegiatan seperti; seminar, Diskusi Publik dan diskusi terbatas.

Beberapa waktu lalu (6/8) digelar diskusi terbatas dengan topik bahasan mengenai “Merespon RUU Jaminan Produk Halal” dengan menghadirkan tiga pembicara yakni; Aldentua Siringo Ringo (Tim hukum PGI), Daniel Yusmic P.FoEkh, (LePAS 10) serta dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Maruli Silaban (JIRA).

Acara diskusi terbatas berlangsung di ruang pertemuan PGI, Jakarta dengan dimoderatori Gabarel Sinaga (JK-LPK) dengan tujuan untuk sosialisasi dan konsolidasi terkait RUU JPH .

Dalam keterangannya mengenai RUU JPH disebutkan bahwa pemerintah merasa perlu membuat Undang-Undang JPH ini karena beberapa alasan diantaranya; untuk melaksanakan kemerdekaan beribadat menurut agamanya, maka Negara wajib menjamin kehalalan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologik, dan produk rekayasa genetika. Serta menganggap bahwa peraturan mengenai kehalalan produk yang tersebar di berbagai perundang-undangan dianggap belum menjamin kepastian hukum atas tersedianya produk halal yang dikonsumsi masyarakat.

Dalam RUU JPH ini juga memberikan kewenangan pada MUI sebagai penentu Fatwa yang menyatakan halal atau tidaknya suatu produk. MUI juga mengklaim sebagai pihak yang berhak mengeluarkan sertifikasi halal, bukannya pemerintah. Tugas pemerintah hanya sebatas mengeluarkan peraturan sedangkan sertifikasi halal menjadi kewenangan MUI.

Beberapa pihak memiliki pandangan beragam dalam menanggapi tentang perlu tidaknya RUU JPH ini disusun.

Badan Pengawasan, Obat, Makanan dan Minuman (BPOM) meskipun tidak dapat berkomentar mengenai perlu atau tidaknya RUU PH ini namun menganggap undang-undang yang sudah ada saat ini dirasa sudah cukup.

Di lain pihak Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai proses pembahasan RUU JPH yang tertutup membuat polemik halal ini tidak berujung. Ada kepentingan yang mendriven di balik kepentingan publik dan ini harus dilawan. Selain itu motif RUU JPH jelas lebih bernuansa ekonomi ketimbang motif melindungi umat.

Dalam pernyataannya Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) meminta agar RUU JPH ini ditinjau dan dihentikan pembahasannya di DPR RI karena Indonesia bukan negara agama dan Indonesia terdiri dari beragam etnik agama, maka itu akan bersinggungan dengan rasa keadilan dan HAM.

Selain itu hukum agama harus dipisahkan dari hukum negara. Jika tidak, maka akan melahirkan diskriminasi yang pada gilirannya dapat merusak kebhinnekaan yang damai dan harmonis di Indonesia.

Ditambahkan pula bahwa negara bertugas melindungi hak-hak semua warga negara, termasuk menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ibadahnya masing-masing sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 dan 29. Tetapi jaminan itu tidak mengharuskan negara memproteksi secara berlebihan terhadap agama tertentu. Biarlah soal menjalankan agamanya menjadi urusan masing-masing penganut agama dengan Tuhannya, dilaksanakan dengan kerelaan dan bukan dengan pengaturan hukum yang diatur oleh negara.

Penolakan terhadap pengesahan RUU JPH ini tidak hanya datang dari kalangan non-Muslim saja, tetapi juga kalangan Muslim seperti NU yang menolak menyetujui RUU Jaminan Produk Halal ini disahkan menjadi UU.

Daniel Yusmic P.FoEkh, (LePAS 10) dalam pemaparannya pada acara diskusi terbatas tersebut mengatakan bahwa suatu Undang-Undang apabila dipaksakan di dalam masyarakat yang majemuk maka dapat menimbulkan masalah di kemudian hari. Sebuah RUU itu harus transparan dalam pembuatannya dan melibatkan partisipasi masyarakat,” katanya.

Menurutnya, faktor agama masih sangat dominan dalam proses pembentukan dan perkembangan hukum di Indonesia berbeda dengan di negara modern yang mana pengaruh agama mulai berkurang pengaruhnya.

Membaca dan memahami UUD 1945 menurut Aldentua Siringo Ringo (Tim hukum PGI), tidak cukup hanya dengan membaca teks saja tetapi kita harus memahami suasana kebatinan ketika UUD 1945 itu dibuat. Demikian juga halnya dengan Undang-Undang, ketika kita membaca UU pornografi tidak ada hal-hal yang menakutkan di dalamnya.tetapi ketika di balik RUU pornografi ternyata menjadi payung hukum bagi semua perda bernuansa syariah maka itulah yang menjadi persoalannya. Dengan kata lain kita harus paham apa yang ada di balik sebuah Rancangan Undang-Undang.

Dalam hal melakukan advokasi untuk menghalau disahkannya RUU JPH ini perlu diperhatikan beberapa prinsip yakni; selektif, sitematis, taktis, strategis, dan keberanian untuk melaksanakannya dalam upaya menghalau disahkannnya RUU Jaminan Produk Halal ini,” ujarnya.

“Sejauh mana gereja-gereja merespon terhadap RUU bernuansa syariah dan upaya preventif apa yang dilakukan gereja agar RUU bernuansa syariah tidak diloloskan menjadi Undang-Undang?”

Upaya untuk mengadvokasi para pendeta mengenai persoalan RUU JPH ini menjadi penting dilakukan agar para pemimpin gereja dapat mensosialisasikannya kepada jemaat melalui kotbah mereka dan menyuarakannya kepada pemerintah.

Kekhawatiran yang timbul kemudian apabila RUU syariah diloloskan menjadi Undang-Undang adalah bahwa akan makin banyak bermunculan kebijakan-kebijakan syariah lainnya yang tidak bisa dikawal dan diawasi masyarakat.

RUU JPH juga dinilai diskriminatif dan apabila disahkan nantinya menjadi Undang-Undang dapat mengganggu hak asasi umat lainnya, untuk itu RUU JPH tidak perlu bentuk.

Next Story : Tokoh Lintas Agama Serukan Upaya Penyelamatan KPK

More news in society

Tokoh Lintas Agama: Perda "Qanun" Aceh Bertentangan Dengan HAM

JAKARTA - Peraturan Daerah (qanun) Aceh yang disahkan 15 September 2009 lalu ditanggapi pro dan kontra dari berbagai kalangan. Tokoh-tokoh lintas agama sendiri menolak “qanun” Aceh ini dan mendesak pemerintah untuk mengajukan uji materi (judicial ...

Terpopuler

Headlines Hari ini