Krisis finansial global diperkirakan masih akan berlangsung lama. Tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga sangat parah. Bagi Bangsa Indonesia, tak hanya bergulat melawan krisis, kita juga menghadapi momentum krusial Pemilihan Umum (Pemilu).
Secara sederhana, krisis tidak bisa dipecahkan melalui cara pandang yang sama dengan penyebab krisis itu sendiri. Pertanyaannya, apakah krisis mampu melahirkan wakil rakyat dan pemimipin yang memiliki cara berpikir memadai untuk melepaskan bangsa ini dari cengkeraman krisis dan kemiskinan? Bagaimana nasib bangsa Indonesia pada 5 dan 25 tahun mendatang?
Indonesia berpotensi memasuki seri krisis yang panjang, dan dengan begitu sebagai bangsa kita tidak akan ke mana-mana. Kita akan terjebak dalam kemiskinan, angka pertumbuhan rendah. Bagaimana perekonomian Indonesia dalam 5 tahun dan 25 tahun ke depan?
Dalam upaya mencari alternatif solusi yang bisa ditempuh, Centre for Creative Economic Studies, Unika Atma Jaya pada (22/4/2009) lalu menggelar acara Diskusi dengan tema: “Krisis dan Pemilu: Upaya Mencari Jalan Keluar”, bertempat di Gedung Yustinus, Unika Atma Jaya, Jakarta.
Diskusi tersebut sekaligus juga merupakan diskusi atas buku “Bencana Finansial: Stabilitas sebagai Barang Publik” yang di tulis oleh Dr. A.Prasetyantoko, Centre for Creative Economic Studies, Universitas Atma Jaya, Jakarta.
Pembicara yang hadir dalam sesi diskusi tersebut adalah: Prof. Jeffrey A. Winters, Northwestern University, dengan fokus “Bagaimana Pemilu menjadi momentum penting bagi pemulihan ekonomi jangka panjang”, Dr. A.Prasetyantoko, Centre for Creative Economic Studies, Universitas Atma Jaya, dengan fokus ”Krisis finansial dalam perspektif ekonomi heterodoks”.
Secara umum Jeffrey menilai krisis dapat disebabkan oleh empat sebab yakni: ekonomi, politik social, perang, dan alam.
Menurutnya krisis tidak melulu buruk tetapi juga dapat menjadi salah satu cara untuk membuka kesempatan untuk munculnya suatu perubahan.
Permasalahannya seringkali terletak pada siap atau tidaknya kita dalam menghadapi perubahan tersebut,” tukasnya.
Mentalitas bangsa Indonesia dinilai masih berpegang erat pada mentalitas 7 persen yang merasa puas apabila tingkat GDP yang diperoleh dapat mencapai angka 7 persen, sedangkan menurutnya, angka 7 persen tersebut hanya cukup untuk mempertahankan status quo dan masih kurang untuk dapat memberikan ruang bagi upaya untuk pertumbuhan dan perkembangan yang setidaknya baru dapat dicapai apabila pemerintah berani menetapkan “double digit growth (DDG)” sebesar 10 persen.
Lebih lanjut diuraikannya bahwa jika Indonesia masih mepertahankan mentalitas 7 persen, maka permanent poverty di Indonesia akan menjadi mimpi buruk yang menjadi kenyataan di bangsa ini.
Dilihat dari situasi politik di Indonesaia yang saat ini tengah disebukkan oleh pemilu baik legislatif maupun pilpres, Jeffrey berpendapat bahwa faktor uang dinilai masih merupakan faktor penting dibandingkan aliansi dalam pemilu saat ini.
Winter menilai perlu ada suatu gerakan bersama yang kuat untuk dapat menghadapi masalah. Menurutnya gerakan saat ini yang jelas terlihat dan bahkan mampu masuk ke grassroot dalam upaya mencoba menjawab masalah yang ada di Indonesia lebih bernuansa Islami.
Jika gerakan tersebut berhasil, maka justru akan mengancam pluralisme di Indonesia akan terancam,” ujarnya.
Mereka punya tujuan dan ideologi yang jelas yang mana ingin membuat Indonesia menjadi negara Islam. fenomena inilah yang saat ini tengah terjadi di Indonesia.
Winters mengatakan bahwa dirinya mengatakan hal tersebut bukan mendasarkan pada pandangan agama, tetapi lebih kepada pluralisme,mengingat Indonsia merupakan negara yang majemuk.
Indonesia merupakan satu dari tiga negara di dunia seperti India dan Amerika Serikat yang bereksperimen dengan pluralisme baik dari agama, suku budayanya. dimana terdapat masyarakat yang berbeda dalam satu negara. Pertanyaannya adalah apakah masyarakat yang berbeda tersebut dapat tinggal bersama dalam satu negara.
Dalam akhir penuturannya, Winters menilai Indonesia merupakan negara yang memiliki pengalaman yang hebat dalam hal kemajemukan penduduknya, dan berharap agar Indonesia dapat mempertahankan pluralisme yang ada di negara ini.