Eritrea menjadi tempat penjara raksasa dengan jumlah tahanan arbitrer yang sangat melimpah, tukas Human Rights Watch.
HRW melaporkan para tahanan Eritrea tersebut secara paksa dikembalikan lagi dari berbagai negara seperti Libia, Malta dan Mesir yang seringkali menahan dan menyiksa mereka saat mereka kembali.
Termasuk diantaranya Kristiani yang tidak terdaftar sebagai anggota denominasi manapun yang juga kerap ditahan. Mereka sering disuruh kerja paksa atau dikurung dalam kontainer pengiriman barang yang terbuat dari logam yang diletakkan di bawah terik panas matahari.
Dalam laporannya, HRW mengatakan bahwa negara-negara yang terdapat para pencari suaka dari Eritrea di dalamnya, seharusnya tidak mengirim mereka kembali ke negara asalnya.
Saat ini Eritrea mewajibkan warga negaranya mengikuti wajib militer untuk kepentingan nasional sampai kurun waktu yang tidak pasti. Para wajib militer pada awalnya hanya akan ditugaskan selama 18 bulan.
Menurut HRW, sebagain besar populasi Eritrea telah mendapat bagian. Kelompok hak asasi tersebut mengatakan bahwa pihak pemerintah menggunakan perselihan tentang perbatasan yang tidak terselesaikan sebagai alasan bagi negara untuk tetap secara permanen melakukan persiapan guna menghadapi perang.
Penduduk berusia di bawah 50 tahun umumnya dilarang memiliki visa untuk agar dapat meninggalkan Eritrea, dan bagi yang mencoba keluar secara illegal akan dipenjarakan, disiksa atau bahkan ditembak saat diperbatasan.
Seluruh agen surat kabar independen juga telah ditutup oleh pemerintah,” ujar HRW.
Eritrea telah berubah menjadi suatu negara yang memiliki masalah khusus mengenai pelanggaran kebebasan beragama yang memprihatinkan menurut Departemen Dalam Negeri AS pada Januari lalu.
Puluhan umat Kristiani yang berlindung di wilayah Kerala, sebelah barat – daya India sejak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok anti – Kristiani pada Agustus lalu, dikabarkan akan ...