Pemerhati: Perundang-Undangan Bisa Mengancam Pluralisme Indonesia
Tuesday, Mar. 24, 2009 Posted: 8:00:36AM PST
Ancaman demi ancaman terhadap keberagaman (pluralisme) Indonesia kian hadir seiring produk perundang-undangan yang diciptakan oleh lembaga konstitusi. Salah satunya adalah keputusan Mahkamah Konstitusi tentang parlementary treshold mengenai batasan kursi di DPR/MPR sebanyak 2,5 persen bakal mengancam minoritas di DPR/MPR.
Demikian disampaikan oleh Damianus Taufan dari Setara Institute, lembaga pemerhati pluralisme yang menjadi pembicara dalam diskusi publik Pentingnya Pluralisme Demi Menjaga Keutuhan NKRI di gedung Nusantara I, Jakarta, Selasa (17/3).
"Bahkan minoritas akan tenggelam, padahal belum tentu mayoritas yang mewakili pengambilan suara terbanyak itu menjadi hal yang benar," katanya.
Tidak jauh berbeda dengan yang diutarakan Damianus, Sekjen Jaringan Aktivis Pro-Demokrasi Andrianto menyatakan, masih ada perundangan-undangan yang sudah tidak kompatible dengan kondisi Indonesia saat ini.
Contohnya, UU PMPS tahun 1965 pasal 1 dan 2. Pasal 1 tentang kebebasan kehidupan beragama tapi membatasi beberapa tindakan yang menyangkut perbedaan, dan pasal 2 tentang pengeluaran SKB tiga menteri (Agama, Sosial, Kesra) bila terjadi selisih paham antar pemeluk agama "UU PMPS itu bahkan masuk dan menjadi acuan dalam pasal 156 A KUHP," tegasnya.
Menurut Adrianto, contohnya bisa dilihat dalam kasus Ahmadiyah, bagaimana pemerintah menggunakan kasus Ahmadiyah sebagai peredam atas isu-isu lainnya. "Ahmadiyah ibarat harta karun pemerintah yang sewaktu-waktu diblow up guna menenggelamkan isu-isu pemerintahan," tambahnya.
Sementara Zainal Abidin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) memandang Indonesia kian mengalami kemajuan dalam sepuluh tahun terakhir dalam pluralisme. Dengan di amandemenkannya UUD 1945 sebanyak empat kali pada pasal 28 point A-J.
Begitu juga pasca 1998 dengan kehadiran UU No 39 tahun 1999 yang memberikan proteksi kepada warga negara pada sisi perlindungan sektoral dan diskriminasi sosial. Yang terakhir pada 2005, dimana pemerintah meratisifikasi dua konvenan internasional tentang hak sipil dan politik serta konvenan internasional tentang ekonomi sosial dan budaya.
Sayangnya, menurut Zainal pemerintah gagal dalam tahap implementasinya. "Terkait dengan level pengambilan keputusan karena berdasarkan kepentingan yang muncul dan dimenangkan mayoritas, ini problem. Lihat saja lahirnya UU No 44 Tahun 2008 tentang pornografi, itu kan mengancam kepentingan minoritas," ungkapnya.
Maka ke depan, menurut Damianus Taufan perlu adanya UU tentang toleransi ataupun tepo seliro. "Saya merasa kosa kata ini kian menghilang dalam kehidupan bernegara Indonesia," ungkapnya.
Damianus melanjutkan, Indonesia bisa mencontoh pada negara Inggris yang telah memberlakukan UU tentang tepo seliro, tapi jangan mengacu pada negara Singapura karena pemerintahannya tidak jauh berbeda dengan orde baru yang otoriter.
"Meskipun tepo seliro ataupun toleransi adalah dektronisasi dari otoritarian orde baru," ujarnya.
Langkah selanjutnya dalam melindungi pluralisme ke depan adalah dengan melindungi hak-hak masyarakat minoritas yang rentan.
Next Page: 1 | 2 |
Kompas
|