Suasana di depan kampus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. (Foto: Meilanie Nurul Huda/Pembaca/Detik.com)
Suasana di depan kampus Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. (Foto: Meilanie Nurul Huda/Pembaca/Detik.com)
Jakarta (28/3) - Bencana di kawasan Situ Gintung di Tangerang, Banten setidaknya telah menelan korban 21 orang meninggal dan 10 orang luka-luka berdasarkan data korban di RS Fatmawati yang dipantau oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) hingga Jumat (27/3/2009) pukul 20.25 WIB. Sementara sumber lainnya menyebutkan sampai pukul 18.00 WIB, 38 orang meninggal dunia. Sumber lain menyebutkan 65 orang sudah meninggal dunia sampai dengan pukul 22.40 WIB.
Sedangkan data hingga menurut keterangan Ketua Posko Utama Bencana Situ Gintung UMJ, Rahmat Salam dalam jumpa pers di Fakultas Hukum UMJ, Sabtu (28/3/2009) menyebutkan "Hingga pukul 12.00 WIB jumlah korban tewas menjadi 64 orang.
Data tersebut merupakan hasil korban setelah ditambah dengan korban tewas yang ditemukan hari ini. Tim evakuasi telah berhasil menemukan 10 korban tewas sejak pagi hingga siang hari.
"Tadi pagi sempat 77 (korban tewas), tapi karena ada nama yang dobel, data kita perbaharui lagi," tambahnya.
Namun, lanjut Rahmat, korban tewas masih akan terus berlanjut, mengingat masih ada 102 orang dinyatakan hilang. "Evakuasi tidak akan berhenti sampai kita evaluasi terakhir," tandasnya.
Perbedaan data jumlah korban ini bukan hal yang baru ketika sebuah becana terjadi. Menurut WALHI dalam siaran pers-nya Sabtu lalu, hal itu sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tak pernah belajar dan tidak pula melakukan upaya serius untuk melindungi hak-hak warga Negara. Upaya tanggap darurat bisa dilakukan dengan maksimal jika data korban tidak ada yang pasti.
Namun, bencana itu justru menjadi ajang kampanye gratis bagi para politisi dengan kedok solidaritas kemanusiaan, kata organisasi lingkungan itu.
Dalam pandangan WALHI yang disampaikan oleh Berry Nahdian Forqan selaku Direktur Eksekutif Nasional, bahwa bencana di Situ Gintung setidaknya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak adanya upaya serius pemerintah (Gubernur Banten) dalam pemeliharaan (maintenance) Situ Gintung yang sudah dibangun sejak tahun 1932.
Pada bulan November 2008 bencana yang sama namun dalam skala yang lebih kecil sudah pernah terjadi dan sudah pula dilaporkan oleh masyarakat. Namun laporan tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah setempat. Sementara jika dilihat dari jumlah situ di Jabotabek yang berjumlah sekitar 193 situ, dengan luas keseluruhan 2.281,90 hektar. Lebih dari separuhnya (± 68%) dalam keadaan rusak. Dengan data ini saja seharusnya pemerintah sudah bisa berbuat banyak untuk menjamin keselamatan warga, tapi hal ini tak pernah dilakukan.
Kedua, alih fungsi kawasan situ menjadi kawasan perumahan, restoran, hotel, tempat pembuangan sampah dan kawasan bisnis lainnya yang terus terjadi tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan faktor keselamatan rakyat (human security). Pemerintah juga telah mengakui hal ini lewat departemen PU pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa telah terjadi alih fungsi kawasan situ. Dimana dari total luas situ di Jabodetabek sekitar 2.337,10 ha. Saat ini hanya tinggal 1.462,78 ha saja. Dari jumlah tersebut, hanya 19 situ yang kondisinya baik.
Ketiga, lemahnya koordinasi antar pemerintah di wilayah Jabodetabek untuk memulihkan kawasan hulu dan wilayah tangkapan air, khususnya untuk kawasan DAS Ciliwung dan Cisadane. Keempat, tidak tersedianya sistem informasi dan sistim peringatan dini untuk masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah rawan bencana, sehingga banyak menimbulkan korban jiwa ketika bencana terjadi.
Erwin Usman Juru Kampanye Air dan Pangan Eksekutif Nasional WALHI menambahkan, meluasnya area genangan air di setiap musim hujan, dan ancaman munculnya bencana banjir dan disertai longsor di kawasan-kawasan padat penduduk di Jadebotabek, adalah akibat dari terjadinya kerusakan fungsi ekologis dan menurunnya daya tampung situ, serta ketiadaan perhatian serius pemerintah merevitalisasi fungsi situ, danau dan bendungan.
WALHI menyayangkan lemahnya tindakan pencegahan dan penanganan bencana di kawasan situ Gintung. Gubernur Banten dan Departemen Pekerjaan Umum harus dimintai pertanggungjawabann.
Selain itu WALHI juga mendesak dilakukannya penghentian alih fungsi kawasan situ, DAS dan wilayah tangkapan air (catchment area) lainnya di wilayah Jadebotabek untuk memberi ruang bagi pemulihan kawasan ekologi dan mencegah berulangnya bencana. Segera lakukan restorasi ekologi kawasan situ dan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai upaya penyelamatan lingkungan mutlak dilakukan pemerintah. Sistem peringatan dini (early warning system) oleh pemerintah harus segera dibenahi untuk mencegah jatuhnya korban bencana.