JAKARTA - Pelaksanaan pilpres 2009 secara langsung merupakan suatu hal yang patut disyukuri oleh masyarakat Indonesia dimana tahun ini adalah kali kedua Indonesia melaksanakan pilpres secara langsung yang juga merupakan suatu kemajuan yang diraih dalam penyelenggaraan pesta demokrasi di bangsa ini.
Pemilu juga dianggap sebagai salah satu ajang untuk membersihkan orang-orang yang tidak disukai. Meskipun kita dapat bersyukur bahwa pilpres dilakukan secara langsung namun praktik politik di Indonesia dinilai masih carut-marut dan etika politik bangsa ini masih minim.
Etika para elit politik dalam pemilu kali ini dinilai cenderung berorientasi pragmatis dan tidak mengindahkan etika politik, hal ini nampak dari sepak terjang para politisi yang sering tidak menghiraukan sikap, ucapan dan tindakan politik mereka dapat menjadi sosialisasi politik yang baik untuk rakyat atau tidak.
Sejumlah persoalan besar yang tersisa dari pileg lalu masih belum tuntas, para elit politik sudah sibuk berkasak kusuk tentang strategi “bagi-bagi” tanpa mengindahkan etika dan pandangan masyarakat luas terhadap mereka.
Tidak hanya itu, pelanggaran terhadap jadwal kampanye capres-cawapres resmi yang baru dimulai pada 2 Juni pun dilanggar oleh ketiga pasangan capres-cawapres, serta aksi saling menjatuhkan pasangan lainnya dalam kampanye tak terelakkan ikut mewarnai pilpres tahun ini.
Fenomena tersebut justru dikhawatirkan dapat membuat masyarakat menjadi semakin alergi terhadap politik dan bukan tidak mungkin memilih untuk golput dalam pilpres mendatang.
Untuk menentukan siapakah pasangan capres-cawapres yang akan diukung nampaknya menjadi pertimbangan yang cukup sulit bagi masyarakat. Ketiga pasangan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Untuk itu dalam proses penentuan pilihan calon yang capres-cawapres menurut Dr.Victor Silaen, MA. dalam acara Diskusi Politik Menyongsong Pilpres RI 2009 dengan tema: “ Tingkatkan Partisipasi Politik Warga Gereja Dalam Pilpres 2009 Demi Kelanjutan Bangsa dan Negara” menganjurkan agar masyarakat berpegang pada prinsip “Minus Malum” yakni memilih yang paling sedikit keburukannya.
Diskusi tersebut terselenggara atas kerjasama Fakultas Fisipol Universitas Kristen Indonesia (UKI) dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia wilayah DKI-Jakarta (PGIW Jakarta) pada (12/6) di Ruang Seminar Universitas Kristen Indonesia, Jakarta dengan menghadirkan beberapa nara sumber diantaranya: Pdt. Emanuel Raintung (PGIW Jakarta), Dr.Victor Silaen, MA. (Dosen Fisipol UKI, sekaligus pengamat politik), Pdt. Pdt. Shirato Syafei STh (Ketua Departemen ORKOM GPIB), Sitorus.
Lebih lanjut, pengamat politik sekaligus dosen Fisipol UKI itu juga memberikan beberapa kriteria yang dapat menjadi bahan pertimbangan masyarakat untuk menentukan pilihan pasangan capres-cawapres yakni: pertama, orang tersebut tidak berpotensi dihambat atau dirongrong, baik oleh keluarga, kroni, dan pendukungnya dalam koalisi; kedua, yang tidak tersandera beban-beban masa lalu karena pelanggaran HAM berat, atau yang berutang moral kepada rakyat karena hal-hal di masa silam yang belum selesai, dan lainnya.
Ketiga, yang tidak menimbulkan kecurigaan karena harta kekayaannya yang spektakuler; serta keempat, yang tidak memunculkan kesangsian karena kualitas dan kapabilitasnya sebagai pemimpin negara dan bangsa Indonesia ini kelak dikemudian hari.
Sejauh ini Victor Silaen mengamati bahwa umat Kristen khususnya, dalam pilpres kali ini lebih banyak yang memberikan dukungan pada dua pasangan capres-cawapres, SBY-Budiono dan Mega-Prabowo dengan alasan yang hampir serupa dengan sebelumnya yakni: pertama, lebih karena “fktor SBY” yang dinilai cerdas, simpatik, berwibawa, dan cukup bagus kinerjanya selama ini. Dan salah satu faktor yang setidaknya membuat umat Kristen “bernafas lega” adalah karena SBY akhirnya tidak jadi memilih salah seorang calon dari PKS.
Sedangkan untuk pasangan Mega-Prabowo, menurut pengamatan banyak umat Kristen yang akan memilih pasangan ini karena, pertama, kekhawatiran terhadap SBY yang berkoalisi dengan partai-partai Islam, sehingga diprediksi beberapa posisi strategis dalam kabinet SBY nantinya akan diduduki kader-kader partai Islam; hal ini menyebabkan faktor kekecewaan terhadap SBY yang menyebabkan mereka berpaling kepada pasangan Mega-Prabowo, disamping alasan bahwa adik Prabowo, Hasyim Djojohadikusumo merupakan “aktivis Kristen” ikut menguatkan dukungan umat Kristen pada pasangan ini.
Sedangkan untuk pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, sejauh pengamatan, potensi dukungan umat Kristen terhadap mereka tidak cukup besar dikarenakan JK sendiri bukanlah sosok figur yang sangat disukai rakyat lintas suku dan agama.
Jika dihadapkan kembali pada pertanyaan pasangan manakah yang harus didukung? tidak ada jaminan yang dapat memberikan kepastian bahwa yang satu lebih baik diantara ketiganya, semuanya spekulatif. Untuk itu, bagi umat Kristen, perlu banyak berdoa dan minta hikmat Tuhan seraya terus mengamati pelbagai perubahan secara kritis dan kalkulatif,” ujar Victor Silaen.
Ditambahkan pula bahwa sebagai umat Kristen, kita hendaknya tidak egois, dengan menjadikan kepentingan kita (umat Kristen dan gereja-gereja) sebagai yang utama dalam mempertimbangkan pasangan capres-cawapres yang akan dipilih nantinya, melainkan dihimbau kepada umat Kristen dan gereja-gereja untuk berpegang pada prinsip bahwa siapa pun yang menang nantinya, kita niscaya harus selalu aktif mengawasi mereka dalam menjalankan pemerintahan, dan jangan hanya menjadi “penonton” di negeri ini.
Sebagai warga gereja, kita bebas mendukung pasangan manapun, tetapi sebagai gereja atau lembaga gerejawi, disampaikan pula agar tidak menunjukkan keberpihakan kepada salah satu pasangan tertentu. Selain itu kita juga tidak boleh menjadi “penjaja dukungan” atau “penjual suara” kepada para calon capres-cawapres tersebut dan bersih dari “iming-iming” tertentu.
Dengan sikap seperti itu, maka Kristen dan gereja-gereja niscaya akan tetap dapat menjadi komunitas yang disegani dan diperhitungkan di negeri ini, sehingga dapat dengan bebas dapat bersikap kritis terhadap pihak manapun.
Politik di Indonesia juga dinilai masih belum beretika, dimana para pileg tidak memberikan pembelajaran etika yang baik pada masyarakat, serta komisi penyelenggara pemilu pada tahun ini dinilai sebagai yang terburuk dalam sejarah penyelanggaraan pemilu di bangsa ini.
Dilain pihak, Pdt. Shirato Syafei STh (Ketua Departemen ORKOM GPIB) menyatakan bahwa gereja harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam pilpres ini, mengingat banyak gereja akar rumput yang masih hanya melihat dimana ada bendera bergambar salib, maka itu yang dipilih, tanpa memikirkan dan mengkaji hal-hal yang lebih luas dan mendalam.
Gereja juga harus memikirkan bagaimana memenuhi tugas dan tanggungjawabnya sebagai warga negara dalam kontribusinya kepada negara.
Disamping itu, penting bagi gereja untuk mendidik kader-kader muda di bidang politik guna mempersiapkan mereka di masa depan. Selama ini gereja hanya berbicara politik saat menjelang even politik saja, dan kader-kader muda gereja yang terbentuk saat ini lebih kepada upaya individu-individu itu sendiri untuk mengembangkan dan mengasah kemampuannya di bidang politik dan bukan karena peran gereja,” imbuhnya.
Lembaga-lembaga pengkaderan kaum muda gereja yang dimiliki saat ini dinilai masih bersifat sporadis dan tidak fokus, sehingga sulit untuk mencetak kader-kader yang berkualitas lebih.
Menurutnya, gereja haruslah memiliki posisi yang jelas sebagai kekuatan politik moral, bukan kekuatan politik praktis serta tidak boleh eksklusif.
Pemimpin Gereja Katolik Keuskupan Timika Mgr John Philip Saklil Pr memprihatinkan pendidikan anak-anak asli Papua terutama suku Kamoro di yang kurang mendapat perhatian serius orang tua dan pemda setempat. ...