Para pemimpin Katolik dan Protestan berharap bahwa hubungan yang tegang antara kedua komunitas di negeri yang sebagian besar penduduknya Katolik ini akan menjadi tenang setelah perayaan Natal bersama bersejarah yang baru pertama kali diselenggarakan.
"Kita harus menunjukkan persaudaraan dan saling menghormati, dengan begitu, kita bisa hidup damai dan meraih kemakmuran," kata Uskup Dili Mgr Alberto Ricardo kepada sekitar 500 umat Katolik dan Protestan di Gereja Hosana di Dili pada 4 Januari. Uskup da Silva dan Pendeta Francisco de Vasconcelhos, ketua Sinode Protestan Timor Leste, memimpin perayaan di gereja Protestan itu, menurut UCA News.
Da Silva mengungkapkan harapannya bahwa pertemuan itu akan turut membantu umat hidup dalam kedamaian dan mendesak umat Kristen untuk hidup sebagai satu keluarga. Sedangkan Pendeta de Vasconcelhos mengatakan bahwa peristiwa itu penting untuk menunjukkan bahwa kedua Gereja dapat bekerja sama dalam membangun negeri itu.
Kendati ada kehendak baik yang terungkap dalam perayaan itu, hubungan antara kedua Gereja Kristen di Timor Leste telah lama mengalami ketegangan. Salah satu sumber ketegangan itu sudah ada sebelum referendum tahun 1999, ketika umat Protestan membentuk sebuah faksi yang sangat signifikan dari warga yang mau menggabungkan diri dengan Indonesia yang waktu itu menduduki Timor Timur.
Umat Katolik merupakan mayoritas penduduk Timor Leste, atau 95,4 persen dari 906.139 penduduk menurut Buku Tahunan Kepausan 2006. Namun, Pendeta de Vasconcelhos menaksir jumlah umat Protestan sekitar 100.000 orang. Sidang Jemaat Allah merupakan denominasi Protestan paling besar dan aktif.
Perbedaan perhitungan ini juga merupakan sumber ketegangan lainnya.
Seorang awam Katolik, yang tidak mau menyebut jatidirinya, mengatakan pada 19 Januari bahwa para misionaris Protestan yang datang ke negeri itu memberi uang, makanan, pakaian, dan barang-barang lainnya kepada orang-orang miskin di desa-desa untuk membujuk mereka menjadi Protestan. Kebanyakan dari mereka yang menerima segala bantuan itu adalah umat Katolik, katanya menyesali. "Semua umat Kristen memang percaya kepada Kristus dan Kitab Suci, karena itu mengapa mereka (orang Protestan) menginjili orang-orang yang sudah mengenal Yesus?" tanyanya.
Berbicara dengan UCA News pada 18 Januari, Pendeta de Vasconcelhos mengatakan bahwa peran seorang misionaris sesungguhnya bukan menarik orang menjadi kawanan atau anggota komunitas imannya. Menjadi seorang misionaris "berarti menolong orang tanpa mengharapkan apapun," jelasnya. "Para misionaris hendaknya menghormati keyakinan dan agama orang lain sehingga kegiatan misioner itu tidak menciptakan konflik antara umat Katolik dan Protestan, yang sudah hidup rukun selama bertahun-tahun."
Pemimpin Protestan itu mengatakan, ia tidak mempunyai rincian berapa banyak orang Katolik menjadi Protestan, tetapi ia setuju dengan umat Katolik yang menyatakan bahwa jumlah orang Katolik yang menjadi Protestan itu cukup signifikan.
Umat Protestan sudah melaporkan bahwa mereka menghadapi permusuhan dan bahkan sejumlah klerus diancam dan diserbu ketika berkarya di daerah pedalaman. Ada juga sejumlah pengakuan bahwa orang-orang Katolik yang menjadi Protestan diperlakukan buruk oleh para tetangga dan famili mereka. Meskipun begitu, para pemimpin Protestan mengatakan bahwa para pejabat Gereja Katolik dan pemerintah dapat turut menolong memecahkan berbagai perselisihan dan konflik seperti itu.
Pastor Martinho Gusmao, koordinator perayaan Natal bersama, mengatakan bahwa tujuan perayaan itu hanyalah untuk saling menghormati agama satu sama lain.
Para penjabat yang menghadiri perayaan itu, antara lain, Perdana Menteri Alexandre "Xanana" Gusmao, Vicente Guterres, wakil ketua dari parlemen, dan Inspektur Polisi Nasional Afonso de Yesus.
KUPANG – Jumat pagi (10/4/2009) umat Katolik di wilayah Keuskupan Agung Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), memadati gereja-gereja untuk mengikuti prosesi jalan salib, mengenang kisah ...