Aparat membongkar paksa Gereja HKBP Getsemani dan GEKINDO, Sabtu (14/6) lalu. (Foto: Kristiani Pos)
Pdt. Erwin Marbun yang mewakili jemaat melapor ke Polda Metro Jaya, Rabu (18/6). (Foto: Kristiani Pos)
Para perwakilan jemaat beserta anggota Tim Pembela Kebebasan Beragama malakukan briefing sebelum memberikan laporan ke Polda. (Foto: Kristiani Pos)
BEKASI - Ironis tatkala menyaksikan salah seorang aparat pemerintah merupakan perangkat negara yang berfungsi untuk mengayomi dan memberikan perlindungan kepada warganya justru berbalik menganiaya warga dengan melakukan tindakan kekerasan berupa pembongkaran secara paksa tempat ibadah.
Berdasarkan pada peristiwa pembongkaran paksa terhadap dua gereja di Jatimulya yakni HKBP Getsemani dan GEKINDO pada 14 Juni lalu yang melibatkan salah seorang aparat pemerintah sendiri dalam hal ini Camat Tambun Selatan Drs. H. Tuftana, MM. Perwakilan jemaat Gereja HKBP Getsemani, GEKINDO, GPDI bersama dengan Tim Pembela Kebebasan Beragama (TPKB) selaku kuasa hukumnya melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan tersebut khususnya menuntut secara khusus Camat Tambun Selatan yang ikut serta dalam aksi pembongkaran paksa bangunan tempat ibadah tersebut Sabtu lalu.
"Semakin terbukti bahwa aparat negara kita masih belum peduli terhadap HAM dan sebaliknya masih peduli pada tekanan-tekanan sekelompok orang," kata Pdt. Gomar Gultom Sekretaris eksekutif bidang Diakonia PGI mengomentari aksi pembongkaran paksa gereja di Jatimulya yang berada dalam naungan PGI.
"Seharusnya sudah menjadi bagian dari tugas negara untuk memfasilitasi warga yang masih mengalami kesulitan beribadah," lanjutnya.
Jemaat ketiga gereja di Jatimulya sudah dua tahun lebih mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat beribadah. Mereka memiliki tempat beribadah namun dilarang oleh aparat dan warga dan bahkan pemerintah daerah yang pernah berjanji untuk memfasilitasi malah justru berbalik membongkar tempat yang dijadikan untuk beribadah. PGI juga ikut menangani masalah tersebut dengan mambawa kasus terbut ke KOMNAS HAM dan ke Dirjenkesbangpol Depdagri terkait dengan keikutsertaan aparat pemerintah dalam penutupan.
Kronologis yang terjadi pada peristiwa pembongkaran paksa tersebut diawali dengan dilayangkannya surat keputusan yang dibuat oleh Camat Tambun Selatan yang diujukkan kepada Lurah Tambun selatan dengan tembusan kepada 6 jajaran aparat pemerintahan lainnnya termasuk kepada Bupati Bekasi tertanggal 10 Juni 2008. Inti dari surat tersebut menyatakan bahwa pihak pengurus tempat yang selama ini dijadikan tempat beribadah tersebut untuk membersihkan ruangan tempat itu dari "ornamen-ornamen", yang tidak dijelaskan secara spesifik.
Surat yang dibuat oleh Camat tersebut tidak diterima secara langsung oleh pihak yang bersangkutan dalam hal ini majelis/pengurus gereja tetapi pihak gereja mengetahuinya setelah sebelumnya diadakan pertemuan oleh Lurah setempat guna mengingatkan kembali pihak pengurus gereja untuk memenuhi apa yang tertera dalam surat Camat tersebut. Dan pada Sabtu pagi, Camat beserta petugas kemanan tanpa basa basi segera melakukan pembongkaran paksa dengan mebuka pintu dengan linggis.
Pihak gereja menganggap tindakan pembongkaran paksa tersebut sebagai tindakan sewenang-wenangan yang melanggar Hak Asasi warga negara sebagaimana dijamin baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional yaitu UUD 1945 (pasal 28, 29), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (pasal 22), UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (pasal 18), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (pasal 18). Yang mana dalam realitanya pemerintah justru memberangus Hak Asasi warganya sevagaimana yang dialami oleh jemaat gereja di Jl. Melati Ujung Np. 142 Jatimulya, Bekasi Timur.
Dengan dilakukan pembongkaran paksa tersebut juga dianggap sebagai penghianatan dan pengingkaran Pemerintah Kabupaten Bekasi terhadap surat kesepakatan bersama yang pernah dibuat antara Pemerintah Kabupaten Bekasi dengan warga Gereja (Jemaat Jatimulya) pada 30 Oktober 2005 dimana dalam surat tersebut berisi antara lain; Pemda memfasilitasi tempat ibadah HKBP, GEKINDO, GPDI, bangunan tempat ibadah tidak dibongkar.
Sebelumnya juga pihak gereja telah mengajukan dua somasi terhadap janji pemerintah yang tak kunjung ada realitasnya hingga saat ini, dan somasi kedua dilayangkan pada 21 Mei 2008 lalu. Akan tetapi justru buntutnya bukan tempat yang didapat oleh jemaat, melainkan justru pembongkaran secara paksa oleh aparat pemerintah dalam hal ini Camat Tambun Selatan beserta pihak keamanan pekan lalu.
Penutupan ketiga gereja tersebut HKBP Getsemani, GEKINDO, GPDI telah dilakukan pemerintah daerah sejak Oktober 2005 dengan dilakukannya penyegelan terhadap ketiga tempat ibadah tersebut oleh pemerintah Kabupaten Bekasi, dan telah dua tahun lebih Jemaat Jatimulya tidak bisa lagi menggunakan tempat ibadah tersebut dan harus berpindah dari satu tempat k tempat lainnya untuk beribadah.
Pada kesempatan Rabu siang (18/6), jemaat Gereja yang diwakili oleh Pdt Erwin Marbun bersama dengan beberapa saksi lainnya dengan didampingi kuasa hukum dari Tim Pembela Kebebasan Beragama dalam hal ini diwakili oleh salah seorang Koordiantor TPKB Sahara Pangaribuan, SH melaporkan tindakan pembongkaran paksa yang dilakukan oleh Camat Tambun Selatan ke Polda Metro Jaya dimana isi laporannya memuat 6 point salah satunya adalah mengutuk dan menyesalkan tindakan Pemerintah Kabupaten Bekasi/ Camat Tambun Selatan yang telah melakukan pembongkaran terhadap terhadap rumah ibadah (Gereja) Jemaat Jatimulya yaitu: HKBP Getsemani dan GEKINDO.
Hasil dari pelaporan tersebut menyatakan bahwa pihak Polda akan memproses kasus tersebut lebih lanjut dan akan membritahukan perkembangannya kepada pihak gereja dan kuasa hukumnya.
Ke-Kristenan di dunia saat ini mulai mengambil wajah pribumi, gerakan Pentakosta, menurut seorang ahli. ...