Agama dan Negara: Sebuah Hubungan YangTidak Mudah
Monday, Nov. 3, 2008 Posted: 3:59:13PM PST
Sebuah Rekaman Peristiwa Ketika masyarakat Muslim menuntut Pemerintah Indonesia membubarkan Gerakan Akhmadiyah, Pemerintah menjadi limbung. Dibutuhkan waktu berhari-hari untuk merumuskan suatu keputusan bersama tiga menteri guna menentukan apa yang mesti diperbuat dengan Akhmadiyah.
Sesungguhnya, mudah saja bagi Pemerintah mengambil keputusan apabila mereka berpegang teguh pada Konstitusi (UUD 1945) yang menegaskan, bahwa setiap orang dijamin kebebasannya untuk menyatakan agama dan kepercayaannya di muka umum (Fasal 29). Tidak boleh ada seorangpun yang mengintervensi, termasuk Pemerintah, kecuali yang bersangkutan mengganggu keamanan umum. Dalam berbagai pernyataan-pernyataan selalu ditekankan bahwa beragama merupakan hak asasi manusia. Mempunyai agama bukanlah karena pemberian pemerintah atau siapapun. Sebagai demikian, pemerintah telah dapat mengambil keputusan tegas, yaitu tidak perlu membubarkan Akhmadiyah. Kemudian nyata bahwa keputusan tiga menteri itu hanyalah sebuah keputusan yang tidak jelas, sebab, pada satu pihak tidak diperkenankan Akhmadiyah memperkembangkan diri, tetapi pada pihak lain, mereka tidak dilarang untuk beribadah. Maka memang masuk di akal apabila sampai sekarang unsur-unsur tertentu di dalam masyarakat Muslim tetap menuntut Pemerintah membubarkan gerakan ini.
Yang kita kemukakan ini hanyalah salah satu kasus tentang kesulitan merumuskan persisnya relasi agama dan negara. Di mana persisnya meletakkan garis “kerjasama” antara ulama dan umaroh juga tidak jelas. Kesulitan itu bukan hanya di Indonesia. Di India misalnya, secara jelas dirumuskan bahwa negara itu bersifat sekuler. Artinya tidak ada hubungan antara penyelenggaraan negara dan penerapan agama di dalam kehidupan warganegara. Tetapi akhir-akhir ini, segala pertemuan-pertemuan yang dianggap berbau agama (selain Hindu) dicurigai. Alhasil, kalau kita, dalam permintaan visa ke negeri tersebut, mendaftarkan diri sebagai pendeta (boleh dibaca: pemuka agama) yang mau mengadakan pertemuan agama di sana, sudah pasti ditolak. Sepertinya negara tidak lagi konsisten dengan prinsip pemisahan menurut asas sekuler itu. Turki sebagai negara jelas menerapkan prinsip pemisahan urusan agama dan negara.
Agama adalah urusan pribadi yang tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan bernegara. Maka karena itu, misalnya pemakaian jilbab di tempat-tempat umum dilarang. Bahkan isteri Presiden yang memakai jilbab dicegah memasuki istana. Pernah terjadi seorang Turki-Belanda yang pulang ke Turki, kembali lagi ke Negeri Belanda. Alasannya, di Turki, jilbab dilarang sedangkan di Negeri Belanda, berkat prinsip demokrasi, seseorang boleh melakukan apa saja asal tidak yang bersifat kriminal. Sekarang ini di Turki ada gerakan-gerakan yang cenderung menerapkan syariah di dalam kehidupan sehari-hari, yang sudah tentu akan dilawan keras oleh kaum militer.
Iran di era Syah Phalevi adalah negara yang cenderung memisahkan urusan agama dan negara. Bahkan pemisahan itu dianggap sebagai semacam “syarat” bagi modernisasi. Tetapi ketika Imam Khomeini memegang tampuk kekuasaan, Iran diubah menjadi sebuah negara agama dengan kekuasaan penuh para mullah. Bahkan presiden berada di bawah kekuasaan mullah. Arab Saudi juga sebagai Pemangku warisan-warisan Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Demikian juga di Afghanistan ketika rezim Taliban berkuasa, prinsip penerapan syariat agama dipegang begitu teguh sehingga konon, ketika seorang ibu yang bakal melahirkan hendak dibawa ke rumah sakit terpaksa melahirkan di tengah jalan karena pada waktu itu azan magrib sedang dikumandangkan. Siapapun tidak boleh melakukan pekerjaan, ketika azan dikumandangkan dari menara mesjid. Sekarang ini di bawah pemerintahan Karzai, oleh pengaruh Amerika demokrasi hendak diterapkan, tetapi tidak juga mudah.
Next Page: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 |
Andreas A. Yewangoe
PGI
|