Natal hampir datang. Ada banyak persoalan yang berkait dengan kabar penyelamatan itu. Apakah spirit Natal? Penyelamatan semacam apa yang muncul pada zaman yang tidak terlalu menghargai kebersamaan dan toleransi ini? Berikut perbincangan dengan Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan (HAK) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Antonius Benny Susetyo di Jakarta, belum lama ini.
Natal identik dengan kabar penyelamatan. Dalam kondisi bangsa kita saat ini, bagaimana perwujudan kabar penyelamatan itu?
Kita kembalikan terlebih dulu segalanya ke spirit Natal. Spirit Natal itu sebenarnya pendobrakan dari kemapanan. Kita bayangkan seorang raja, mengapa dilahirkan di kandang, bukan di istana? Allah yang derajatnya tinggi mengapa di taruh di tempat yang menurut kebanyakan orang terendah, yaitu kandang.
Jadi, ada pesan besar di balik ini semua ini, yaitu perubahan dan pendobrakan atas sikap dan pola pikir yang ada selama ini. Natal itu melahirkan perubahan sikap tentang kesamaan manusia dan martabat. Tak pelak tidak ada lagi kekuasaan untuk kepentingan para penguasa. Tapi kekuasaan harus diabdikan untuk pelayanan manusia. Allah sendiri mau melayani para gembala, yang simbol rakyat, mengapa manusia yang menjadi penguasa malah minta untuk dilayani.
Kondisi saat ini bagi para gembala tidaklah menguntungkan, karena pemilik kekuasaan bukan melayani, melainkan justru membatasi mereka dalam berbagai aspek. Aspek pendidikan, perlindungan hukum, permodalan dan sebagainya. Kekuasaan bukan melayani rakyat, malahan memberikan keistimewaan pada segelintir elite saja yang sudah hidup sangat mapan.
Orang yang sudah mapan malah diberi kemudahan kredit, diberi perlindungan hukum, sehingga tidak bisa disentuh hukum. Kejadian seperti ini sudah terjadi pada saat kelahiran Yesus dan masa sebelumnya. Atas kondisi yang demikian timpang ini Allah ingin mengubah cara berpikir manusia untuk mengubah kekuasan menjadi melayani dan memuliakan rakyat kecil.
Pola pikir manusia sudah memburu kekuasaan, memburu kekayaan untuk makin menguasai, memperbudak, untuk minta dilayani kaum yang lemah. Natal harus dimaknai sebagai kelahiran sebuah semangat baru untuk menyelamatkan manusia, dengan mendobrak nilai-nilai lama yang merusak martabat manusia, dan melahirkan tatanan baru yang adil, yang beradab, yaitu nilai-nilai yang memuliakan martabat manusia dan pada akhirnya menyejahterakan kehidupan manusia.
Dalam Konferensi Wali Gereja hal ini dirumuskan sebagai habitus, yaitu gugus insting yang memengaruhi cara berpikir, bertindak, bernalar, dan berelasi, sehingga semua warga bangsa ini mampu untuk mencapai keadilan. Sebagaimana kita ketahui keadilan itu bisa terjadi bila ada fungsi silang dari semua elemen.
Apa yang Anda maksud dengan fungsi silang antarelemen?
Ya harus ada fungsi silang itu antara negara-pasar-warga negara. Sayang fungsi silang ini di negara kita tidak terjadi sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan keterpurukan di berbagai bidang.
Apa penyebabnya?
Unsur negara yang dalam hal ini digerakkan oleh pemerintah, parpol, dan parlemen, kini malah berselingkuh dengan kapital. Karena itu kebijakan-kebijakan yang dirumuskan pemerintah dan parlemen bisa tidak menguntungkan rakyat dan hanya menguntungkan pemilik modal. Akibatnya negara kita tersandera oleh kekuatan kapital yang makin diperkuat oleh back up kekuasaan yang terdiri atas unsur pemerintah dan parlemen. Ketika negara sudah dalam posisi tersandera oleh kapital, maka kita masuk kedalam kehancuran keadaban publik.
Natal itu untuk mengingatkan kita tentang perlunya kelahiran kembali keadaban publik yang telah hancur akibat nafsu-nafsu yang terkait dengan kepentingan kapital. Yesus datang untuk mengubah struktur sosial, bahwa Allah yang punya kekuasaan begitu besar mau melayani mereka yang miskin, lemah tak berdaya karena kaum yang lemah ini punya martabat yang sama sebagai manusia.
Jadi, jangan malah mereka makin dipinggirkan, dilemahkan, dan tidak dimanusiakan.
Prinsipnya martabat manusia itu tidak boleh direduksi oleh materi semata. Karena pengelolaan dan pengolahan alam untuk kesejahteraan bersama itu harus diwujudkan manusia. Bukan penimbunan materi yang tak terhingga di segelintir orang namun menyebabkan penderitaan, kesengsaraan di banyak orang. Inilah pentingnya Natal dimaknai sebagai semangat bahkan budaya berbagi demi keadaban publik.
Hanya itukah makna Natal?
Natal melahirkan peradaban, yakni peradaban yang memberikan perhatian kepada si miskin, si lemah yang selama ini menjadi korban penindasan oleh elite pemilik modal, elite politik dan bahkan elite agama. Natal melahirkan manusia baru yang berbeda dari "manusia lama" yang sarat dengan kerakusan, kesewenang-wenangan, dan melestarikan kekuasaan, tanpa mau berbagi kepada sesama.
Manusia lama itu sarat dengan dosa. Dosa adalah keinginan untuk menguasai, menindas, menumpuk-numpuk kapital tanpa rasa puas dan tidak mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Keinginan untuk memaksakan hendak, mendikte semata, dengan kekuatan yang dimiliki. Untuk membentengi keinginan yang cenderung tanpa batas ini, maka kita butuhkan sebuah spiritualitas Natal.
Kita menyaksikan begitu banyak bencana melanda negeri ini, juga kekerasan yang masih saja terjadi dengan mengatasnamakan agama dan kepentingan tertentu. Bagaimana kita harus menyikapinya dengan spiritualitas Natal?
Natal itu mengajarkan damai. Hidup yang damai baru bisa kita lakukan setelah kita berhasil membangun dialog. Adanya problem intoleran di tengah masyarakat kita itu bisa karena persoalan ideologi, apalagi dengan masuknya paham-paham radikal akhir-akhir ini, juga bisa karena persoalan kesenjangan sosial.
Persoalan ideologi ini muncul karena empat pilar bangsa ini tidak pernah dijalankan. Empat pilar tersebut adalah Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan tidak dijalankan empat pilar tersebut, maka berarti telah terjadi pengingkaran terjadi pengkhianatan terhadap cita-cita founding father kita.
Kita lihat bagaimana elite politik memanipulasi arti persatuan, sehingga yang terjadi adalah upaya untuk sentralisasi. Dengan sentralisasi, atau seluruh kekuasaan terpusat di tangan sedikit orang , maka terjadilah manipulasi lebih besar lagi. Ingat kekuasaan yang demikian terpusat, yang demikian besarnya akan cenderung korup.
Munculah di di daerah, reaksi-reaksi atas kekuasaan yang terpusat atau tersentral ini. Sayang reaksi-reaksi dari daerah yang sebenarnya adalah upaya untuk memakmurkan dirinya tersebut dengan mudah dicap sebagai kekuatan yang anti-NKRI. Dicap demikian agar kekuasaan yang terpusat tidak bisa dikritik. Padahal tujuan berdiri NKRI untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.
Muncul kekecewaan-kekecewaan yang berujung pada konflik dan kekerasan yang justru mengancam keutuhan NKRI. Mengapa tidak dibuka ruang dialog untuk upaya menyejahterakan rakyat. Menutup ruang dialog justru menutup kewibawaan pemerintah, karena pemerintah justru menunjukkan sikap kuat-kuatan, terhadap rakyat yang lemah.
Sikap kuat-kuatan pemerintah juga dapat berupa penyusunanundang-undan yang selalu mendahulukan kepentingan pemilik modal, dan menunda-nunda kepentingan rakyat banyak. Reaksi dari rakyat beragam, ada yang bisa nrima, tapi makin hari makin banyak juga yang frustrasi, lalu mereka yang makin tidak punya eksistensi dan identitas tersebut mendapatkan semangat dari kelompok radikal.
Kelompok radikal seakan memberikan janji bahwa, cara-cara merekalah solusi atas segala permasalahan bangsa saat ini. Konsep radikallah yang paling cepat bisa mengubah kehidupan yang tidak adil ini menjadi adil. Selain itu kita juga melihat adanya ketidaktegasan aparat penegak hukum, karena pelaku kekerasan juga pelaku perusakan tidak pernah ditindak tegas, padahal ini kan pelanggaran hukum.
Ketidakwibawaan hukum ini menyebabkan kekosongan, ketidakpercayaan publik terhadap hukum, mereka mencari keadilan sendiri-sendiri, dan kondisi "negara kok absen" ini akan diisi oleh hukum-hukum dari kalangan preman berlabel kepentingan apa saja. Selain itu pucuk pimpinan kita yaitu presiden sering kita lihat absen, terlambat dalam urusan konflik dan kekerasan yang terjadi. Padahal sudah begitu banyak kekerasan terjadi.
Berapa sering kekerasan antarkelompok terjadi?
Menurut data Setara Institute dalam tiga tahun ini ada 315 kekerasan yang mengatasnamakan agama. Dengan adanya angka tersebut kita bertanya-tanya mengapa kita makin jauh dari perdamaian. Padahal cita-cita NKRI adalah ingin mewujudkan perdamaian untuk tingkat dunia sebagaimana tertuang dalam pem bukaan UUD 45. Tapi mengapa untuk negeri sendiri saja sering absen, sering terlambat.
Dengan sering absen dan sering tela negara, maka "perdamaian" diciptakan oleh kelompok yang kuat setelah mengalahkan kelompok yang lemah. Kalau sudah kuat-kuatan seperti ini keadaannya, maka sudah tentu nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan tergantung dari 'dikte' siapa yang berhasil menjadi pemenang. Istilahnya tidak ada jaminan kepastian hukum. Kondisi seperti ini jelas mengancam peradaban.
Kondisi seperti ini juga mengancam ekonomi, karena memunculkan pemerasan yang berujung ekonomi biaya tinggi juga menyebabkan investor tidak mau masuk. Buat apa masukan modal ke sini bila kepastian, kewibawaan hukum tidak ada. Kondisi yang sudah seperti ini, sangat membutuhkan pemimpin yang negarawan, bukan pemimpin yang manajer atau pemimpin yang ketua parpol saja.
Ada kecenderungan orang merayakan Natal secara besar-besaran, bermewah-mewahan, bagaimana hal ini menurut Anda?
Kembalikanlah Natal dalam spirit kandang. Kandang itu bangunan yang sederhana. Di gereja Katholik kita hadirkan kesederhanaan itu. Jadikanlah Natal bukan sebuah pesta. Tapi jadikanlah Natal sebuah ajang aksi solidaritas bagi sesama. Lebih baik dana untuk pesta natal dikumpulkan dan disumbangkan kepada saudara-saudara kita di Merapi, Wasior dan Mentawai. Natal bukanlah cemara dengan berbagai perhiasan yang gemerlapan, tapi Natal adalah kandang.
Adanya perayaan besar-besaran itu karena Natal sudah dibisniskan, karena memang waktunya berdekatan dengan Tahun Baru. Suasana ini dimanipulasi pedagang, sehingga ada kesan tidak pas bila Natal tidak disertai pesta. Tapi ini bukan berarti saya melarang pohon Natal dan hiasannya yang gemerlapan. Tetapi yang penting spirit kandangnya tidak hilang.
Dengan spirit itu, kita harus mengaktualisasikannya dengan berpihak kepada si miskin tanpa harus memusuhi yang kaya. Kebijakan negara harus tetap memperhatikan si miskin agar martabat mereka tidak direndahkan. Tidak boleh ada lagi relasi pemimpin dan rakyatnya bagaikan tuan dengan hamba sahayanya. Rakyat harus melayani, dan hidupnya sehari-harinya susah, semua waktunya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada waktu untuk berefleksi untuk dirinya.
Bagaimana bisa mereka memekarkan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban bila hari-hari mereka dibelenggu oleh upaya pemenuhan kebutuhan hidup minimumnya. Jadi Natal harus melahirkan spirit untuk membebaskan manusia dari belenggu sifat-sifat keserakahan, kesewenang-wenangan, suka menindas dan juga kemiskinan, untuk melakukan revolusi budaya. Dalam hal ini perubahan ke arah kemanusiaan yang makin beradab.
sumber : suaramerdeka
Saat dunia penuh kegelapan, manusia telah menyimpang dari Firman Tuhan ...