Diskusi Lintas Agama yang gagas oleh Persaudaraan Indonesia Raya (Persira), Rabu (26/8) di Wisma Isman Kosgoro, Jakarta.
Anggota komisi VIII DPR Tiurlan Hutagaol (Foto: Kristiani Pos)
Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Jakarta Dhaniswara K. Harjono
JAKARTA – RUU Jaminan Produk Halal yang saat ini masih dalam penggodokan DPR menuai banyak kontroversi dari sejumlah kalangan, diantaranya kalangan agama, pelaku usaha, dan masyarakat.
Dilihat dari berbagai sisi, mereka berpendapat bahwa RUU JPH tidak layak untuk disahkan menjadi Undang-Undang dari sisi keagamaan, konsep halal yang berbeda antara kelompok agama satu dengan lainnya, dari sisi jasa justru akan merepotkan dan merugikan pengusaha kecil,dari sisi budaya, rawan timbulnya konflik, dan dari sisi sanksi yang tidak jelas karena haram dan halal itu adalah urusan manusia dengan Tuhannya.
Hal ini diungkap dalam Diskusi Lintas Agama yang gagas oleh Persaudaraan Indonesia Raya (Persira), Rabu, di Wisma Isman Kosgoro, Jakarta.
"RUU ini merupakan permohonan dari umat Islam untuk mendapatkan kepastian hukum bahwa yang mereka makan itu adalah halal. Karena banyaknya di pasaran makanan dan bahkan penggunaan vaksin yang mengandung lemak babi. Atas inisiatif pemerintah maka dibentuk RUU JPH ini yang dibahas oleh komisi VIII," kata anggota komisi VIII DPR Tiurlan Hutagaol.
Lebih lanjut Tiurlan mencontohkan beberapa makanan tertentu yang bagi agama tertentu diharamkan tetapi bagi agama lainnya justru merupakan makanan wajib pada pesta adat dalam budaya suku tertentu. Dan penggunaan minyak babi oleh orang Papua untuk mencegah gigitan nyamuk. "Apakah kemudian tempat duduk yang habis diduduki orang Papua tersebut kemudian menjadi haram?" katanya.
Dia juga menyesalkan sikap sejumlah anggota DPR yang mengabaikan dan tidak menghargai suara-suara kelompok minoritas pada rapat-rapat DPR saat membahas RUU JPH ini. "Setiap saya bertanya atau mengajukan pertimbangan selalu dilewati, malah sudah ada yang jelas-jelas mengusir saya," uangkapnya.
Menurutnya, pelanggaran hukum yang terjadi pada RUU JPH pada hakekatnya adalah untuk melindungi bangsa Indonesia, tetapi perlindungan tersebut hanya untuk agama tertentu tetapi merugikan umat beragama lainnya. “Yang dilindungi hanya kepentingan umat Islam tetapi kepentingan agama lainnya ditiadakan."
RUU JPH yang semula katanya sukarela namun dalam beberapa poin menyebutkan adanya kewajiban bagi pelaku usaha besar ataupun kecil untuk memiliki sertifikat halal untuk menjamin produk atau makanan yang dijualnya, hal ini jelas merupakan suatu bentuk pemaksaan.
Sementara itu AS Kobalen seorang tokoh agama Hindu mengusulkan untuk melakukan aksi bersama guna menghentikan disahkannya RUU JPH yang rencananya akan disahkan pada rapat paripurna DPR 15 September 2009 mendatang. Agenda DPR RI menjelang penetapan RUU Jaminan Produk Halal (RUU JPH) sejak 24 Agustus-15 September 2009 adalah konsolidasi Fraksi-fraksi untuk mematangkan pendapatnya yang selanjutnya akan disampaikan kepada panitia perumus RUU tersebut.
"Kalau perlu tanggal 8 September besok saat rapat pandangan fraksi-fraksi kita turun mengadakan aksi demo damai dengan membawa bunga ke DPR bersama pemuda Hindu, Buddha, Kristen, dan Katolik," katanya.
Dari kalangan pengusaha yang diwakili oleh Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Jakarta Dhaniswara K. Harjono menilai RUU JPH ini tidak memenuhi syarat sebagai undang-undang. Bahkan jika dilihat dari sisi ekonomi, RUU ini tidak akan membantu, justru merepotkan. "Saya sendiri adalah dewan pengurus sertifikasi KADIN, dan saya tahu benar bagaimana nanti pengoperasiannya, yang ada malah nanti justru akan terjadi perdagangan stiker halal itu."
Harjono menyatakan RUU itu akan merugikan kegiatan usaha kecil dan menengah, karena "mereka saja sudah susah berpikir untuk modal, malah ditambah dengan beban pendaftaran sertifikasi."
Jakarta - Dalam usaha menangani dan memerangi terorisme, pemerintah Indonesia telah melakukan kerjasama dengan 7 negara di beberapa benua. Hal tersebut diungkapkan oleh Menko Polhukam Widodo AS dalam rapat kerja antara jajaran menteri ...