Setelah melalui pembahasan yang sulit dan panjang, revisi SKB (Surat Keputusan Bersama) Dua Menteri No 1/1969 akhirnya disahkan menjadi "Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri" berisi 31 pasal yang mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Depdagri Sudarsono Hardjosoekarto membenarkan adanya penandatanganan naskah PBM tersebut. Menurut dia, prosesi penandatanganan dilakukan secara terpisah. Menteri Agama M. Maftuh Basyuni menandatangani naskah PBM pada Selasa (21/3) malam, sedangkan Mendagri M. Ma'ruf pada kemarin pagi, Jawa Pos memberitakan. "Ya, sudah (ditandatangani, Red), oleh Pak Menteri hari ini," kata Sudarsono kemarin, Jawa Pos memberitakan.
Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni mengharapkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang rumah ibadat yang ditandatangani dapat meredam gejolak antar-umat beragama di Indonesia seperti halnya di masa lalu.
"SKB yang dulu multitafsir, yang sekarang tidak lagi, sekarang begitu dibaca orang yang rendah pendidikannya pun sudah paham," kata Menag di Istana Negara Jakarta, Rabu, Antara memberitakan.
Penyusunan revisi SKB Menag dan Mendagri no 1 tahun 1969 itu, ujarnya, diserahkan sepenuhnya kepada Majelis-majelis Agama, dengan demikian membuat proses penyusunannya juga memakan waktu lama dari yang semula hanya dua-tiga minggu menjadi hampir lima bulan.
Mendagri mengakui, revisi SKB tidak jauh berbeda dengan SKB yang lama. Jika sudah disosialisasikan secara tepat diharapkan konflik antarumat beragama bisa dikurangi. "Memang setiap keputusan pasti tidak akan memuaskan semua pihak," kata Ma'ruf, seperti dikutip SCTV.
PBM tersebut mulai berlaku sejak ditetapkan oleh pemerintah pada 21 Maret 2006. Dengan berlakunya PBM Nomor 8/9 Tahun 2006 ini, pemerintah secara resmi mencabut SKB Dua Menteri 1/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya.
Sejumlah pasal krusial yang selama ini menjadi perdebatan alot oleh majelis-majelis agama telah disepakati. Di antaranya, syarat administrasi pendirian rumah ibadah dan syarat khusus. Dalam pasal 14 ayat 2 (a) disebutkan, pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang. Data 90 orang tersebut harus didukung oleh kartu tanda penduduk. Selain itu, pembangunan tempat ibadah di suatu daerah harus mendapat dukungan warga setempat minimal 60 orang dan harus disahkan oleh lurah/kades.
Dalam pasal 6 ayat 1(e) juga disebutkan untuk mendirikan tempat ibadah harus memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB) yang diterbitkan bupati/wali kota. Sementara di pasal 17 dinyatakan bahwa pemerintah daerah wajib memfasilitasi penyediaan lokasi baru tempat ibadah yang telah berizin jika perlu dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.
Masing-masing kepala daerah tingkat I dan II dibebani tanggung jawab dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Dalam pasal 3-7 disebutkan bahwa kepala pemerintahan mulai lurah hingga gubernur memiliki tugas memelihara kerukunan beragama. Pertanggungjawaban tersebut dilaporkan ke pusat dua kali setahun, pada Januari dan Juli, atau sewaktu-waktu ketika dibutuhkan.
Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menjadi sangat penting. Forum ini harus ada di setiap kota atau kabupaten di seluruh Indonesia. Pemerintah daerah diwajibkan menyelesaikan pembentukannya di wilayah masing-masing paling lambat satu tahun, sejak PBM ditetapkan. Pembentukan dan pendanaan operasional FKUB dibebankan pada APBN dan APBD. Sementara tugasnya adalah memberikan rekomendasi kepada kepala daerah atas rencana dan perizinan pendirian tempat ibadah.
Sejak diberlakukannya PBM ini, semua pemanfaatan gedung yang tidak memenuhi syarat sebagai rumah ibadah harus mengantongi izin sementara dari bupati/wali kota atau camat. Surat izin tersebut berlaku paling lama dua tahun, sebelum mendapat surat izin permanen. Bupati/wali kota mempunyai waktu 90 hari untuk memutuskan permohonan pendirian rumah ibadah yang diajukan panitia pembangunan dan FKUB.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin mengajak umat beragama agar menaati SKB ini. Menurut Din aturan ini harus dijalankan secara konsekuen. "Yang paling penting lagi ada kesadaran dari umat beragama bahwa kita memerlukan kerukunan sejati bukan semu," kata Din, kutip SCTV.
Sedangkan perwakilan KWI (Konferensi Wali Gereja) Soedjati Djiwandono mengharapkan SKB tersebut bisa berdampak positif terhadap kerukunan umat beragama di tanah air.
Kendati demikian, Soedjati menilai peristilahan rumah ibadah pada SKB tersebut kurang tepat karena seolah-olah membatasi aktivitas seseorang beribadah. "Secara umum kadang peristilahannya kurang benar dari segi politik maupun HAM. Definisi rumah ibadah seharusnya tidak seperti yang tertuang pada SKB. Sebab, aktivitas beribadah itu bisa dilaksanakan di semua tempat. Rumah ibadah idealnya tidak bisa dibatasi dengan definisi yang ketat," kata Soedjati, demikian Jawa Pos.
Selain itu, lanjut Soedjati, penggunaan rumah ibadah yang minimal dibatasi 90 orang juga terlalu berlebihan. Alasannya, orang yang beribadah pada rumah ibadah tertentu acapkali tidak mewakili seluruh umat agama yang bersangkutan. "Jumlah representasi umat itu nggak bisa diukur. Pada sebuah rumah ibadah kadang tidak dihadiri semua umat, bahkan kurang dari separo," jelas Soedjati yang aktif di lembaga kajian CSIS ini.
Lebih jauh Soedjati mengatakan, umat beragama sejatinya tidak terlalu membutuhkan PBM. Urusan peribadatan diserahkan kepada umat yang bersangkutan. "Pemerintah tidak perlu mengintervensi lebih jauh. Saya kira umat lebih tahu urusan tersebut," katanya. Menurut dia, keberadaan PBM tersebut mengingatkan pemerintahan orde baru bahwa umat berada perlu dibina dengan kebijakan tertentu.
File Foto: Mohammad Ma'ruf (kiri) dan Maftuh Basyuni. (SCTV)
Data mengenai jumlah rumah ibadah di Indonesia dilaporkan Kementerian Agama, diragukan validitasnya, sehingga bisa menyesatkan, karena akan menimbulkan masalah baru. Apalagi, persoalan kebebasan dan kerukunan beragama yang dijamin konstitusi di ...