Awal tahun 2006, Pemda Kabupaten Bandung melakukan penutupan delapan rumah ibadah di Rancaekek. Menurut Pemda Kabupaten Bandung, delapan gereja itu telah melanggar Perda No 24/2000, karena telah mengalihkan fungsi rumah menjadi gereja.
Selanjutnya, sebuah media tanggal 6 Januari 2006 melaporkan, dalam surat edaran itu pun disebutkan bila dalam radius lima kilometer tidak dibenarkan ada tempat ibadat agama yang berbeda. Kedelapan gereja ilegal itu terletak di dekat masjid di Perumahan Bumi Rancaekek Kencana .
Terlalu ironis bila dalam radius 5 km hanya dibolehkan satu rumah ibadah dari satu golongan. Kalau peraturan ini dilaksanakan secara serentak di Tanah Air, berapa jumlah rumah ibadah yang harus dihancurkan dan ditutup? Di beberapa tempat di Tanah Air, misalnya di Surakarta, gedung Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan berdampingan dengan sebuah mesjid.
Di Kota Baru Yogyakarta, letak mesjid, gedung gereja HKBP, dan Katolik kurang dari dua kilometer. Apakah ini pertanda Pemda Kabupaten Bandung lebih Pancasilais dari pada Pemda Surakarta dan Yogyakarta? Menutup rumah ibadah hanya karena masalah izin bangunan tanpa mencari jalan keluarnya sama dengan melarang orang untuk menjalankan ibadah menurut kepercayaan mereka.
Kalau kurang dari 1-2 kilometer dua rumah ibadah tak bisa dibangun oleh umat yang berbeda, hal itu menunjukkan tidak adanya kerukunan antarumat beragama di Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Tindakan Pemda Kabupaten Bandung akan mengganggu kerukunan antarumat agama dan tidak sesuai dengan semangat UDD 1945 dan Pancasila.
Toleransi antaragama dan pengamalan Pancasila yang harus di tunjukkan oleh pemda dan masyarakat setempat justru harus dinampakkan bilamana dalam satu daerah kurang dari radius tiga kilometer ada rumah ibadah yang berbeda berdiri. Membuat peraturan radius lima kilometer hanya satu rumah ibadah untuk satu golongan, sama dengan membuat tembok pemisah di antara kelompok agama berbeda.
Merupakan tanggung jawab pemda untuk melindungi atau menyediakan, betapa sedikitpun jumlah pengikut suatu kelompok agama, agar mereka dapat menjalankan ibadahnya dengan damai dan bebas dari ketakutan.
Jangan Risau
Rumah ibadah, baik pura, masjid dan gereja, pada umumnya merupakan rumah, tempat para pengikut suatu agama berkumpul untuk melaksanakan panggilannya. Rumah ibadah merupakan tempat orang beriman untuk berdoa dan memuliakan Allah, mendengarkan pengajaran untuk dilakukan, mewartakan suara kenabian/teguran pada umat, mengucap syukur dengan cara memberikan pertolongan pada yang lapar dan melindungi orang yang dalam kesusahan.
Rumah ibadah harus di liputi dengan semangat belas kasih dan kesucian hati. Rumah ibadah bukan tempat untuk melontarkan kebencian pada golongan lain dan sumber melakukan kekerasan. Rumah ibadah juga bukan sekadar tempat untuk mengumpulkan derma/persembahan tanpa dilanjuti dengan pelayanan pada orang terkapar.
Banyak rumah ibadah bukan lagi merupakan tempat pengayoman bagi mereka yang diperlakukan tidak adil. Membangun rumah ibadah bukan jaminan untuk bisa membangun moral pengikut agama. Tak jarang rumah ibadah menjadi sarang penyamun, di mana keselamatan surgawi diperdagangkan.
Banyak pengikut agama menyalahartikan fungsi dan makna pembangunan rumah ibadah. Gereja Katolik pernah di kritik karena menjual surat pengampunan dosa demi membiayai pembangunan gedung gereja. Praktik menjajakan surga saat ini juga terjadi dalam praktik keagamaan di tengah rumah ibadah dan masyarakat.
Seruan pokok dari para nabi/pendiri agama bukan memerintahkan para pengikutnya untuk membangun lebih banyak rumah ibadah dan menjajakan surga. Para nabi dan rasul sering mengkritik fungsi dan praktik rumah ibadah yang telah menyeleweng dari tujuan.
Ibadah yang benar bukan sekadar di tunjukkan dengan makin seringnya manusia mendatangi rumah ibadah. Ibadah yang benar yaitu melepaskan belenggu kelaliman, membalut yang luka, memberikan makan pada orang yang lapar, membela yang menjadi korban ketidakadilan.
Pengikut agama yang rumah ibadahnya saat ini di tutup, tidak perlu sakit hati karena penutupan rumah ibadah mereka, karena kehadiran Allah tidak bisa dibatasi oleh tembok rumah ibadah yang sudah ditutup. Ibadah kepada Allah bisa di tunjukkan dengan cara lain dalam kehidupan sehari-hari. Diperlukan cara baru beribadah di tengah represi penutupan rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia.
Sejarah menunjukkan, penutupan dan represi rumah ibadah dan kepercayaan oleh penguasa akan menjadi bibit yang subur untuk menumbuhkan iman dan ibadah yang sejati. Semua agama mengajarkan cinta kasih, iman, dan pengharapan di tengah represi penguasa. Agama justru mengalami krisis iman dan moral ketika pihak penguasa memanjakan dan menjinakkan umat dengan berbagai bantuannya.
Umat beriman memang tak bersedih karena penutupan rumah ibadah. Tapi yang lebih menyedihkan yaitu sebagai bangsa kita menyaksikan praktik penjabat negara yang mengaku berke-Tuhanan masih melakukan penutupan rumah ibadah dengan alasan yang tak masuk akal.
Allah tidak marah dan maklum kalau pengikutnya tidak bisa beribadah lagi karena rumah ibadah mereka ditutup. Allah justru sedih dan marah bilamana menyaksikan pengikutnya sering beribadah tapi dalam kehidupan sehari hari sering bersekongkol dengan penguasa untuk merampok orang miskin, yatim piatu, dan janda dengan berbagai cara.
Suatu Pengalaman
Tiga puluh tahun lalu ketika lembaga penulis membina kader desa di sekitar Surakarta, sebagian besar peserta memiliki agama yang berbeda dengan penulis. Pembinaan kesehatan dan hukum dilakukan dari pagi hingga sore sehingga melewati jam ibadah.
Kantor penulis menyediakan peralatan ibadah dan ruang kantor untuk mereka yang ingin melakukan kewajiban ibadahnya. Setelah berlangsung beberapa bulan ada peserta yang berkomentar, "Mengapa kantor bapak menghargai orang yang berbeda agama lain untuk melakukan kewajiban ibadahnya di kantor? Selama ini kami keliru karena sering menghasut penduduk desa untuk menolak pendirian rumah ibadah kelompok agama lain di tempat kami. Mulai sekarang kami tak akan melakukannya lagi karena bertentangan dengan ajaran agama."
Penulis hanya berujar, "Makin orang beriman dan ber taqwa kepada Allah maka makin orang itu menghargai orang lain untuk bebas beribadah dengan kepercayaan mereka." Cara ibadah, kepercayaan, dan pengalaman beragama tidak bisa diseragamkan dengan cara propaganda atau represi agama.
Makin seseorang dekat dengan Allah maka makin ia dekat dengan semua manusia, terutama kepada mereka yang diperlakukan tak adil. Hanya dengan mendekatkan diri dengan semua orang maka seseorang akan makin dekat dengan Allah. Cahaya dan buah iman sejati seseorang akan nampak dalam kehidupan dan karya seseorang bukan dari ucapan kosong dan kebencian.
Di tengah era globalisasi, semua pengikut agama dipanggil untuk menghormati kepercayaan agama pihak lain dan memberikan kesempatan semua pihak untuk melakukan ibadahnya dengan rasa aman. Rupanya hal itu yang gagal dilakukan oleh Pemda Kabupaten Bandung.
Sumber: Suara Pembaruan
Tanyakan diri anda pertanyaan ini: Apakah musik yang saya dengarkan membawa saya lebih dekat kepada Tuhan - atau apakah musik itu hanya menghibur ...