Hot Topics » Pakistan Swat valley Sri Lanka conflict Abortion Barack Obama India Lausanne Movement

Mendidik Calon Pemimpin Rohani


Posted: Jun. 14, 2005 02:04:42 WIB

Pemimpin rohani adalah mereka yang memimpin di dalam bidang kerohanian, seperti imam dan pendeta. Disebut pemimpin rohani karena memang tugas pokoknya adalah membangun kehidupan rohani umat dan mengarahkan mereka mendapat kehidupan rohani di dunia dan di akhirat.

Pemimpin rohani dalam arti yang sesungguhnya sangat dibutuhkan pada masa kini, ketika kekuasaan dan materi dipandang sebagai tujuan utama dari kehidupan manusia. Dengan demikian banyak orang mengandalkan jabatan, materi dan ketrampilan sebagai tujuan hidup tanpa peduli pada aspek lain.

Ada juga kecenderungan dalam agama, umpamanya dalam lingkungan gereja, memandang kepemimpinan rohani sebagai suatu privilese yang mengandung makna jabatan sekaligus yang menjamin kemakmuran material. Selain itu, sangat sering terdengar orang berbicara tentang profesionalisme pemimpin di dalam gereja.

Seringkali kita mendengar bahwa seorang pendeta haruslah seorang profesional yang tidak hanya menguasai prinsip-prinsip penggemabalaan tetapi juga prinsip-prinsip manajemen.

Ketika saya baru saja dipilih menjadi Ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 1999, seorang teman berpesan agar di STT Jakarta diajarkan manajemen. Saya sama sekali tidak menyangkal pentingnya ilmu itu sebab seorang pendeta memang haruslah bertindak sebagai seorang manager, seorang pemimpin yang dituntut piawai dalam mengelola kehidupan jemaat.

Timbul pertanyaan pada diri saya selama kurang lebih enam tahun memimpin sebuah perguruan tinggi teologi: Apa yang seharusnya menjadi ciri utama kepemimpinan pendeta? Apa andalan seorang pendeta sebagai seorang pemimpin? Jawaban saya adalah kompetensi moral dan rohani. Ya, keteladanannya. Maka, kami membangun kurikulum dengan basis kompetensi akademik, moral dan rohani. Tetapi tentu saja yang utama adalah kompetensi rohani.

Memang, banyak pendeta disukai karena kemampuan managerial, jabatan dan keterampilan berkhotbah. Itu sebabnya ada pendeta menjadi sangat terkenal sebab khotbah-khotbahnya memukau. Ribuan orang menjadi pengikutnya karena ia mampu memesona banyak orang dengan khotbahnya yang memukau. Pendeta seperti ini diikuti dan dihormati karena khotbahnya yang hebat itu. Dalam lingkungan Protestan, khotbah yang baik memang menjadi suatu tuntutan sebab penekanan dalam ibadah adalah pemberitaan Firman Tuhan.

Ada pendeta yang disukai dan diikuti karena kemampuan ekonominya sehingga tidak membebani jemaat. Saya ingat seorang Ketua Sinode sudah memimpin gereja selama hampir 40 tahun karena memang ia kaya menurut ukuran gerejanya. Ia tidak pernah meminta sesuatu dari jemaat. Sebaliknya, tidak jarang ia menyumbangkan hartanya untuk kepentingan gereja. Tak heran bahwa tidak pernah ada pendeta lain yang mampu menjadi saingannya.

Kompetensi

Pemimpin gereja tentu tidak cukup hanya mengandalkan khotbah, jabatan, ketrampilan manajerial, dan materi. Diperlukan seorang pemimpin yang punya nilai tambah dari semua sumber kekuasaan yang seharusnya dimiliki sebagai pemimpin supaya ia kompeten. Nilai tambah itu ialah kepemimpinan sebagai pelayan Tuhan (hamba Tuhan). Secara populer kita menyebutnya sebagai kewibawaan rohani karena ia adalah pemimpin rohani.

Menurut penilaian saya, masyarakat sekarang ini membutuhkan para pemimpin rohani dengan kompetensi moral dan rohani. Ini sejalan juga dengan pendapat yang berkembang dalam dunia sekuler. Menurut Desmond Berghofer (The Ethical Competence Framework , http://www.ethicalleadership/etical competence/default.html ) tuntutan untuk sukses telah berubah.

Pada abad 21 ini keberhasilan tidak lagi diukur dari sekadar produktivitas yang bisa ditakar melainkan keberhasilan harus diukur dari seberapa jauh kita saling menopang seorang terhadap yang lain, dan seberapa jauh kita memelihara kehidupan di dunia di atas mana kita seluruh kehidupan bergantung. Dengan kata lain, pemimpin yang kompeten di abad 21 ini adalah pemimpin yang mampu berbuat adil dan peduli lingkungan hidup. Singkatnya, pemimpin yang memiliki kompetensi moral.

Kompetensi moral kiranya tidak semata-mata berarti mengetahui apa yang baik dan apa yang salah, tetapi terutama mampu melakukan yang baik dan membuang/ menghindarkan yang tidak baik. Dengan kata lain, kompetensi moral, dapat juga diartikan sebagai pengetahuan dan keterampilan moral dalam menjalankan tugas dan wewenang seseorang.

Kalau para pemimpin memiliki kompetensi moral maka dengan sendirinya diharapkan masyarakat umum juga akan memiliki kompetensi moral. Kalau nilai-nilai agama sekarang ini nampaknya tak dipakai dalam mengelola keseharian hidup, maka hal itu terjadi karena masyarakat agama sebatas mengetahui nilai-nilai luhur agamanya tetapi belum terampil mewujudkannya.

Hal ini terjadi karena para pemimpin agama tak mampu memberi keteladanan rohani. Ajaran agama menjadi ilmu yang melulu kognitif, menjadi pengetahuan empiris.

Sebenarnya masalah kompetensi moral ini ada dalam konsep-konsep lama kepemimpinan, terutama dalam konsep kepemimpinan agama. Dalam Alkitab, seorang pemimpin pertama-tama harus kompeten secara moral.

Akan tetapi aplikasinya dalam masyarakat industri modern telah dipelintir dan dikacaukan dalam pencarian prinsip yang kurang mulia yaitu kemanfaatan: tamak akan keuntungan sehingga mengabaikan prinsip kebenaran atau prinsip moral dan rohani.

Kompetensi moral dan rohani sangat dekat terkait dengan konsep kompetensi emosi, yang menentukan seberapa baik kita menangani diri kita sendiri dan orang lain.

Pekerjaan ini dimulai oleh Daniel Goleman di tahun 1960-an dengan memperkenalkan intelegesia emosional sebagai ukuran baru untuk mengukur keberhasilan kerja.

Goleman mendefenisikan kompetensi emosi sebagai kemampuan belajar yang didasarkan pada intelegensi emosi yang menghasilkan penampilan menonjol di tempat kerja.

Walaupun sulit diukur, intelegensia emosi dapat diamati sebagai kualitas yang membedakannya dari penampilan yang diperolehmelalui pelatihan dan keahlian intelegensia kognitif yang dapat diukur dengan tes Intelligence Quotient - IQ (Goleman: Working with Emotional Intelleigence, New York: Bantam Books, 1998)

Kompetensi moral dan rohani adalah suatu kemampuan yang didasarkan pada pengetahuan moral dan agama yang menghasilkan hubungan-hubungan ramah yang harmonis dan penuh damai pada setiap jenjang kehidupan dalam masyarakat.

Sama seperti kompetensi emosi yang sulit diukur, tetapi kehadirannya atau ketidak-hadirannya dalam diri sesorang, organisasi dan masyarakat dapat diamati, demikian pula kompetensi moral dan rohani. Kompetensi moral dan rohani terkait pula kemampuan para pemimpin rohani mengatasi berbagai kemelut yang dihadapi umat terutama yang terkait dengan pergumulan batinnya.

Sekarang ini dunia modern menuntut perlunya dirumuskan skala kompetensi moral dan rohani yang nantinya bisa dijadikan sebagai alat mengukur kompetensi yang disebut sebagai Ethical Quotient (EthQ) dan Spiritual Quotient (SpQ) mengikuti tradisi mengukur kompetensi intelegensi dengan tes IQ.

Tidak ada jaminan bahwa EthQ dan SpQ akan akurat namun bisa menolong mengamati tingkat moralitas dan kerohanian dalam individu dan masyarakat sehingga membantu melakukan pendidikan etika dan rohani (ukan sekedar pendidikan agama) yang kemudian bisa dijadikan sebagai ukuran kompetensi moral dan rohani. Misalnya saja, mampu membuat orang menjadi tenang menghadapi persoalan-persoalan berat dalam kehidupan.

Spritual Formation

Di lingkungan lembaga pendidikan teologi dikenal apa yang disebut sebagai tiga pembentukan/formasi para calon pemimpin yaitu spiritual formation, academic formation and practical formation (pembentukan rohani, akademik/intelektual dan praktis). Formasi ini digagas oleh Programme on Theological Education (PTE) World Council of Churches pada tahun 1980-an dengan fokus pada Spiritual Formation. Lihat misalnya: Spiritual Formation in Theological Education, Geneva, PT-WCC, 1987.

Pembentukan rohani mencakup usaha menempa seorang calon pelayan menjadi kompeten dalam bidang rohani dan moral. Sedangkan pembentukan akademik mencakup usaha menempa seorang calon pelayan menjadi kompeten dalam bidang ilmiah. Pembentukan praktis menempa seorang calon pelayan menjadi kompeten dalam bidang tugas pelayanan sehari-hari, seperti umpamanya berkhotbah, menggembalakan dan mengerjakan tugas-tugas kepemimpinan pada umumnya.

Formasi-formasi ini diharapkan membawa seorang calon pemimpin/pelayan gereja memasuki kepemimpinan yang memiliki kompetensi intelektual (akademisi), praktis (karakter) dan rohani (saleh) sehingga dapat menjadi teladan bagi kehidupan umat. Pendidikan seperti inilah yang telah dikembangkan oleh STT Jakarta selama puluhan tahun.

Tidak sedikit pemimpin dengan kompetensi rohani dan moral yang telah dihasilkannya. Namun, harus diakui bahwa belum semua harapan jemaat, untuk mendapatkan pemimpin-pemimpin dengan kompetensi moral dan rohani yang handal, dapat dipuaskan.

Masih ada pendeta lulusan STT Jakarta yang tidak hanya belum mampu memperlihatkan keteladanan yang memuaskan jemaatnya. Sebaliknya, ada pula pemimpin rohani yang justru terlena dan terbuai oleh gaya kepemimpinan sekuler mengandalkan kekuasaan dan materi.

Seorang pemimpin rohani memang harus mengandalkan kuasa Tuhan dan Roh Kudus untuk membuatnya menjadi seorang pemimpin yang diteladani, dihormati dan diikuti. Mereka tindak boleh mengandalkan kepintaran, keterampilan, jabatan, dan hartanya.

Kenyataan bahwa para pemimpin rohani adalah juga manusia biasa yang serba terbatas memang harus disadari oleh umat agar tak mengharapkan yang berlebihan dari para pemimpinnya. Misalnya, mereka juga mengharapkan penghargaan, hidup layak dan keluarga sejahtera.

Namun, para pemimpin agama yang telah memilih untuk menjadi pemimpin rohani mestilah pula selalu berusaha untuk membuktikan jatidirinya selaku pemimpin yang memiliki kompetensi moral dan rohani sebagai pilihannya yang utama. Mereka hars bisa membawa kesejukan dan kedamaian batin bagi umatnya.

Pada hari ini, Sabtu 11 Juni 2005, STT Jakarta mewisuda 81 orang lulusannya, 52 di antaranya adalah lulusan S1 yang bergelar SSi, suatu gelar, yang diberikan sebagai konsekuensi pendidikan teologi menjadi sub-sistem pendidikan nasional.

Namun, dengan gelar seperti itu semakin mendekatkan para pemimpin rohani pada formasi akademik yang mungkin secara tidak disadari semakin menjauhkannya pula dari ciri khasnya sebagai sarjana yang khusus kompeten di bidang kerohanian dan karenanya harus mengutamakan kompetensi moral dan rohani di atas kompetensi akademik dan manajerialnya.

Selamat atas semua wisudawan STT Jakarta, maju terus membangun kehidupam moral; dan rohani bangsa. *

(Penulis adalah KetuaSekolah Tinggi Teologi Jakarta)

Sumber: Suara Pembaruan

Next Story : Apa Yang Sebaiknya Pendeta Pikirkan Tentang Menikahkan Bukan Kristiani?

Terpopuler

Headlines Hari ini