Konferensi Pers Setara Institute mengenai pelanggaran terhadap kebebasan umat beragama, Senin (26/7/2010), di Kantor Setara Institute, Jakarta. (Foto: Inggried Dwi W/Kompas)
Laporan Setara Institute mengungkapkan, tahun ini terjadi lonjakan kekerasan khususnya terhadap jemaat Kristiani. Angka kasus kekerasan tahun 2010 sudah melampaui tahun-tahun sebelumnya. Dalam tujuh bulan terakhir, dari Januari sampai Juli 2010, sudah terjadi 28 kasus kekerasan terhadap umat Kristiani di Indonesia.
Kekerasan itu meliputi penyegelan dan penolakan pendirian gereja, ancaman hingga penutupan gereja secara paksa serta penghentian paksa kegiatan ibadah. Jumlah kekerasan ini melampaui yang terjadi pada tahun 2008-2009 yang angka nya tak lebih dari 20 kasus.
Pelakunya beragam, yang terbanyak dilakukan oleh pemerintah daerah, disusul kelompok massa, warga dan ormas Islam seperti Front Pembela Islam FPI.
Hal tersebut diungkapkan dalam hasil kajian Setara Institute tindakan pelarangan dan pelanggaran terhadap kebebasan umat beragama dalam konferensi persnya, Senin (26/7/2010).
Jumlah ini jauh melampaui peristiwa yang terjadi pada tahun 2008 (18 peristiwa) dan tahun 2009 (19 peristiwa). Dari 28 peristiwa itu, kebebasan yang diserang adalah hak untuk bebas beribadah dan hak untuk mendirikan rumah ibadah.
Peristiwa terbanyak terjadi pada bulan Januari (delapan peristiwa), Juni (tujuh peristiwa), dan Februari (lima peristiwa). Data Setara Institute menunjukkan, kasus terbanyak penyerangan gereja terjadi di wilayah Jawa Barat (16 peristiwa), disusul Jakarta (enam peristiwa), Sumatera Utara (dua peristiwa), serta di Riau, Jawa Tengah, dan Lampung masing-masing satu peristiwa.
Menurut Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, tingginya kekerasan di Jawa Barat ini terkait dengan sejarah panjang dari aliran Islam garis keras di Propinsi yang pernah menjadi basis kekuatan Darul Islam.
"Bentuk tindakannya itu beragam, di antaranya penolakan pendirian gereja, penghalangan kegiatan beribadah, perusakan rumah idabah, penyegelan gereja, pembakaran rumah ibadah, pembakaran properti umat, penghentian paksa kegiatan ibadah, penutupan paksa gereja, desakan penutupan gereja, dan ancaman penggerebekan gereja," jelas Bonar di Kantor Setara Institute, Jalan Danau Gelinggang, Jakarta.
Jika ditilik dari pelaku pelanggaran, pemerintah daerah menempati peringkat pertama dengan 12 peristiwa, disusul oleh kelompok massa, warga, dan organisasi masyarakat. Padahal, dikatakan Bonar, ketersediaan rumah ibadah seharusnya menjadi tanggung jawab sosial masyarakat.
"Kewajiban sosial pemerintah untuk menyediakan rumah ibadah. Tetapi, pemerintah justru seolah menutup mata atas peristiwa yang terus terjadi," kata Bonar, seperti diberitakan Kompas.
Dari peristiwa yang terdokumentasi dalam tujuh bulan terakhir, pelanggaran kebebasan beragama dilandasi oleh argumen bahwa keberadaan rumah ibadah telah mengganggu dan meresahkan masyarakat. Selain meresahkan masyarakat, menurut Bonar, pelanggaran juga dijustifikasi oleh alasan bahwa bangunan atau rencana pembangunan tidak sesuai dengan peruntukan atau menyalahi konsep tata ruang.
"Soal izin mendirikan bangunan (IMB) juga menjadi pembenar semua persekusi yang terjadi," kata Bonar.
Komitmen Presiden Dipertanyakan
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta untuk merespons berbagai aksi pelanggaran kebebasan umat beragama.
Dalam catatan Setara, belum sekalipun Presiden memberikan pernyataan terkait tindakan tersebut.
"Presiden lebih malu karena video porno, yang menjadi pemberitaan media luar negeri. Sementara soal pelanggaran dan perusakan rumah ibadah, yang sudah diberitakan media asing berulang kali, tidak ada tindakan apa-apa," kata Bonar.
"Presiden bicara ada tragedi moral, tetapi dia lupa masalah moral sesungguhnya. Yang dasar dilupakan. Mendidik moral itu berawal dari agama. Presiden SBY harus menunjukkan komitmennya. Kami minta pertanggungjawaban Presiden dalam menjaga dan menjamin kerukunan umat beragama di Indonesia," papar Bonar.
Ia memberikan catatan, persyaratan membangun rumah ibadah seharusnya direvisi. Dalam sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, pemerintah dinilai seakan menyamakan pembangunan rumah ibadah dengan pembangunan pusat perbelanjaan.
"Pemerintah selalu samakan rumah ibadah dengan bangunan seperti mal, harus ada IMB. Kemudian, ada syarat 90 umat untuk mendapat izin, mendapat izin 60 orang dari orang yang tinggal di sekitar rumah ibadah, kemudian tanda tangan dari Forum Kebebasan Umat Beragama. Belum lagi dari Kementerian Agama dan pemerintah daerah. Mata rantai birokrasinya sangat panjang," tutur Bonar.
Perhatian pemerintah dinilai penting sebab, dalam beberapa peristiwa, perempuan dan anak-anak menjadi korban. Aksi pelarangan beribadah terhadap umat beragama dikhawatirkan akan menimbulkan trauma kepada anak-anak yang menyaksikannya.
"Tingkat intoleransi ini terjadi secara laten, terlepas dari apa pun agamanya. Ada prejudice terhadap sesama umat beragama.
Bukan mayoritas terhadap minoritas," ujarnya.
Bonar Tigor Naipospos, mengungkapkan alasan pembiaran kekerasan itu oleh pemerintah.
“Pertama kepentingan politik. Pemerintah kota selalu menganggap mereka (ormas) adalah aset atau massa yang penting bagi Pilkada dan dukungan politik. Kedua kepentingan ekonomi, dibalik penghentian ibadah atau penyegelan atau pemindahan gereja selalu ada kepentingan ekonomi berupa pemerasan. Ketiga, memang ada kepentingan ideologi. Ada kelompok - kelompok intoleran yang ingin melihat kelompok yang berbeda aliran atau keyakinan supaya tidak bisa tinggal disitu,” kata Naipospos.
Tidak Konsisten
Salah satu contoh adalah kasus yang menimpa Jemaat Gereja HKBP Pondok Timur Indah Bekasi Jawa Barat. Menurut Pendeta Luspida Simanjuntak, meski jemaat ini telah terbentuk sejak 15 tahun lalu, namun sampai saat ini, keinginan mereka untuk memiliki gereja yang permanen belum terkabul. Untuk beribadah mereka terpaksa berpindah dari satu rumah ke rumah lain. “Terakhir usaha kami adalah, kami siap membeli satu bangunan, tinggal menandatangani hitam diatas putih, tiba-tiba, sekelompok massa sudah membuat spanduk di bangunan tersebut. Isinya adalah, rumah ini bisa dijual tetapi tidak untuk gereja, tutur Sinamjuntak. Makanya rumah yang dibeli tahun 2007 dipertahankan sampai bulan Juni lalu. Kemudian ada surat dari Pemda untuk melakukan penyegelan.
Di Indonesia, untuk menghindari konflik dengan pemeluk agama lain, pendirian rumah Ibadah diatur dalam peraturan bersama atau Perber Menteri Agama dan Mendagri no 9 tahun 2006. Isinya antara lain, untuk bisa mendapat ijin resmi, maka sebuah rumah ibadah harus punya paling sedikit 90 pengguna dan didukung oleh paling sedikit 60 warga yang tinggal di sekitar rumah ibadah itu.
Tetapi Kasus di Bekasi ini menunjukan betapa sulitnya mendapat ijin pendirian rumah ibadah. Sekretaris Setara Institute Romo Benny Susetyo yang ikut merumuskan Perber tersebut, menyalahkan Pemerintah daerah yang dianggap tidak konsisten menerapkan aturan dalam Perber. Ia menambahkan ketersediaan Rumah Ibadah menjadi tanggung jawab pemerintah. “Kalau tidak terpenuhi 90 orang dalam kelurahan itu bisa gabungan kelurahan, kalau gabungan kelurahan tidak terpenuhi, kecamatan, kalau tidak ditarik Kabupaten sampai tingkat Propinsi," kata Romo Benny seperti dikutip Tribun News.
Ia melanjutkan, dalam keterangan Perber tidak mungkin orang tidak bisa mendirikan rumah Ibadat. Persolannya adalah Walikota-Bupati tidak pernah konsisten dengan Perber. Bahkan disitu juga tertera, kalau 90 anggota jemaat terpenuhi, tapi tidak ada dukungan 60 orang, kewajiban pemerintah lah untuk menyediakan tempat rumah ibadat itu. Lalu ada mekanisme ijin sementara rumah bisa dijadikan tempat ibadat, berlaku dua tahun.
Kekerasan pemeluk agama ini tidak hanya dialami oleh umat Kristiani. Bonar menyebutkan, terdapat gangguan dalam pembangunan Masjid di Denpasar Bali. Demikian juga yang terjadi pada Kuil Budha di Riau dan rencana renovasi Pura Hindu di Nusa Tenggara Barat. Ia khawatir, jika pemerintah tinggal diam, ini akan memicu meluasnya sikap intolerasi beragama di Indonesia.
Konferensi Nasional Pemimpin Gereja "Future Impact! Bertindak Bersama Membangun Generasi" ...