Gereja Harus Mengkonfrontasi “Krisis Moral” dalam Ekonomi Dunia, Ujar Para Pemimpin Gereja
Monday, Feb. 23, 2009 Posted: 10:31:01AM PST
|
Pejalan kaki menunggu lampu tanda boleh menyebrang bagi pejalan kaki menyala di depan sebuah pameran tentang informasi pasar elektronik di Tokyo, Kamis,(12/2). Tampak harga saham Nikkei mengalami penurunan rata-rata hampir 3 persen pada Kamis, diragukan bahwa rencana AS untuk penyediaan dana seharga trilyuan dolar akan segera memulihkan kesehatan ekonomi dunia secara luas. (Foto: AP / Katsumi Kasahara) |
Gereja perlu untuk menyuarakan suara nubuatan dalam menghadapi krisis moral yang mendasari krisis ekonomi dunia, kata para pemimpin gereja di dunia minggu lalu dalam kesempatan dengar pendapat umum.
“Kapitalisme telah mengajarkan banyak hal pada kita, bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi,”ujar Miguel d’Escoto Brockmann, seorang imam Katolik Roma dari Nikaragua, dalam sebuah acara yang digelar Dewan Gereja-gereja Dunia pada 19 Februari lalu dalam rangka peringatan Tahun Rekonsiliasi Internasional PBB.
“Akan tetapi dimanakah suara kenabian itu saat ini,”tanyanya, menantang umat Kristiani untuk “berani bersuara” menentang gagasan-gagasan yang bertentangan dengan pengajaran Kristiani.
Rev Dr Setri Nyomi, sekretaris umum Persekutuan Gereja-gereja Reformed, yang juga berbicara mengenai ketamakan saat menyoroti berbagai macam ketegangan dan pemisahan yang disebabkan oleh ketidaksetaraan ekonomi di dunia dalam acara tersebut.
“Selama ini baik secara gamblang maupun samar-samar ketamakan telah menciptakan sistem ekonomi yang mana justru memiskinkan orang di dunia, perpecahan antar manusia dalam masyarakat, “seru Nyomi, seorang teolog dari Ghana, menurut laporan WARC.
Dia mengaitkan peningkatan kejahatan melawan kelompok-kelompok minoritas di negara-negara dengan kekhawatiran ekonomi.
“Para imigran dan kelompok-kelompok minoritas yang termasuk dalam kelompok sejahtera menjadi sasaran kebencian dan ketidakadilan,”ujar Nyomi.
Pemulihan akibat pemisahan menjadi perhatian penting bagi Dewan Gereja Dunia (WCC), yang mensponsori acara dengar pendapat umum minggu lalu yang menyoroti tentang kontribusi gereja pada Tahun Rekonsiliasi Internasional yang dicetuskan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk tahun 2009.
Pada acara Kamis lalu, badan ekumene Kristiani menggelar sebuah diskusi panel yang menghadirkan empat orang pemimpin Kristiani dari benua dan latar belakang aliran yang berbeda guna membagikan pengalaman mereka dalam proses rekonsiliasi, meliputi Brockmann; Nyomi; Uskup besar Silvano M. Tomasi, pengamat tetap Tahta Suci untuk PBB dan Agen-agen Khusus di Jenewa; dan Rev Dr Margaretha Hendriks-Ririmasse, selaku ketua moderator Komite WCC pusat.
Selama acara dengar pendapat umum, Nyomi mencermati bahwa bahkan gereja-gereja pun terpecah akibat krisis ekonomi.
Dengan perbedaan pendapat dan analisa tentang bagaimana penurunan keuangan dapat diperbaiki, umat Kristiani dapat “mulai melihat satu sama lainnya terbagi dalam kelompok kanan dan kiri, konservatif atau liberal,”ujarnya.
“Jadi daripada menjalankan secara bersama-sama sebagai umat Kristiani untuk menghadapi si jahat yang menyebabkan ketidakadilan, kita justru hidup dalam pemisahan sementara ada banyak orang yang mati akibat krisis ekonomi,”kritik pemimpin gereja reformed.
Tetapi Nyomi percaya bahwa dalam menghadapi krisis dan pemisahan ini, gereja dapat menemukan cara baru untuk menghadapi tantangan ketidaksetaraan ekonomi global. Dia juga menekankan bagaimana gereja-gereja anggota WARC telah berjanji untuk bekerja bersama kedepannya lebih dari masalah ekonomi semata dengan 2004 perjanjian yang diberi nama “Accra Confession,” yang menyatakan: “Kami percaya bahwa integritas iman kami akan tetap berdiri kokoh jika kami tetap diam dan menolak untuk menerapkan sistem neoliberal dalam globalisasi ekonomi saat ini.”
Next Page: 1 | 2 |
Ethan Cole
Kontributor Kristiani Pos
|