Gerrit Singgih menulis 15 bab dalam buku ini dan semuanya adalah hasil perenungan terhadap teks-teks Perjanjian Lama. Gerrit merelasikan konteks masa lalu (Israel kuno) dengan konteks masa kini (Indonesia).
Yang menarik, dalam pendekatannya, Gerrit mengikuti perkembangan ilmu hermeunetik, yang tidak lagi mengantitesakan antara eksegese” (menempatkan teks dalam konteks masa lalu) dan “hermeneutik” (menempatkkan teks dalam konteks masa kini). Kita hanya bisa menangkap makna sebuah teks dari masa lalu, kalau kita berangkat dari masa kini.
Tidak berarti bahwa teks dari masa lalu itu kita sesuaikan dengan kepentingan kita di masa kini. Kita berangkat dari “prapaham”, tetapi kita tidak berkutat pada “prapaham”, seakan-akan itu sudah menjadi sebuah paham, melainkan membiarkan “prapaham” berdialog dengan teks, sehingga akhirnya tercapailah “paham”. Jadi, “tafsir” bukan hanya berarti “eksegese”, tetapi “eksegese” sekaligus juga “hermeneutik”. Ada orang yang menggunakan istilah “hermeneutik”, namun memaksudkannya sebagai “tafsir”, sedangkan ada pula (termasuk Gerrit) yang menggunakan istilah “tafsir”, namun memaksudkannya sebagai “hermeneutik”.
Jadi “tafsir” itu tidak hanya tunggal, tetapi jamak, sehingga ada kemungkinan-kemungkinan untuk menafsir sebuah teks, sampai kepada model-model tafsir. Untuk memperjelas, Gerrit mengemukakan beberapa model tafsir, yakni 1) model non/pra-kritis; 2) model kritis-historis; 3) model kritis-literer; 4) model reader’s response. Dan kelima belas tulisan Gerrit diwarnai gaya beberapa model tafsir tersebut.
Lalu apa pentingnya pikiran-pikiran Gerrit ini bagi kita dan gereja? Gerrit menyadari bahwa orang Kristen di Indonesia hidup dalam era pasca-Orde Baru, dan orang-orang Kristen perlu memberi tanggapan positif terhadap hasil-hasil Reformasi, yaitu pengakuan terhadap kepelbagaian agama (pluralisme), demokratisasi, dan perjuangan untuk menegakkan keadilan dan hak-hak manusia (HAM). Orang Kristen perlu memberi sumbangan berupa teologi yang tidak hanya mengurusi gereja, tetapi juga masyarakat. Dan teologi ini adalah “teologi publik”, sebagai bagian dari wacana dalam sebuah civil society, yang terdiri dari komunitas, pasar, dan negara/pemerintah, yan di satu pihak independen satu terhadap yang lain, namun di lain pihak tergantung juga satu kepada yang lain.
Maka buku ini penting untuk menjadi bahan ajar/pembinaan jemaat, yang mempercerah peran para tokoh Kristen untuk hadir dalam politik praktis. Buku ini patut dibaca para teolog, agamawan, dosen, mahasiswa teologi, dan kaum awam, yang concern dengan berbagai persoalan gereja dan masyarakat di Indonesia masa kini.
Penulis : Emanuel Gerrit Singgih
Penerbit : BPK Gunung Mulia
GUNUNG KIDUL, (DIY) - Umat Nasrani di Gunung Kidul, (DIY) akan menggelar perayaan Natal dengan balutan budaya Jawa. ...